Demo Sopir Taksi dan Fenomena "Sharing Economy"
Oleh: Rhenald Kasali
Karena sharing, maka menjadi murah. Selamat datang anak-anak
muda pembaharu!
Mereka memang berbeda dengan orang-orang tua yang dibesarkan
dalam peradapan “memiliki.” Orang-orang tua tahunya berbisnis itu harus membeli
dan menguasai. Jadinya semua mahal. Mobil harus beli sendiri, tanah, gedung,
pabrik, bahan baku, semua disatukan dengan nama pemilik yang jelas.
Akibatnya modal jadi besar. Mau buka mal urusannya banyak.
Sedangkan generasi milenials cukup pergi ke dunia maya. Serahkan pada pada
robot (digital technology), lalu berkumpullah para pemilik barang untuk membuka
lapak di sana dan berbagi hasil.
Sama juga dengan membuka usaha transportasi. Yang mahal hanya
ide, lalu buat aplikasinya. Siapapun yang punya kendaraan bisa bergabung, dan
malam harinya kendaraan tersebut diparkir di rumah masing-masing. Tak perlu
jasa keamanan atau pol taksi.
Akibatnya wajar, kalau sebagian generasi tua gagal paham
menyaksikan ulah mereka yang memurahkan segala macam harga.
Kalau ini mewabah, gila! Indonesia bakal dilanda deflasi,
bukan inflasi. Tapi kini mereka dituduh menerapkan strategi harga predator yang
bisa diperkarakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ongkos taksi yang
harusnya Rp 150.000, cuma dihargai Rp 70.000.
Kamar penginapan yang permalamnya Rp 1 Juta ditawarkan Rp
200.000. Apa betul ini persaingan tak wajar?
Belum lagi gadget, tiket, atau perabotan sehari-hari.
Milenials bukan saja pribumi di dunia digital, melainkan juga mempraktikkan
sharing economy.
Kriminalisasi atau Legalisasi
Tapi gini ya, ini bukan prostitusi online yang bekerja
sembunyi-sembunyi. Mereka hadir terang-terangan di depan mata kita. Bahkan kita
sesekali mencicipinya. Tetapi sebagian orang sering menyamakan mereka dengan
bisnis ilegal.
Persepsi ini diperburuk oleh ketidakmengertian kita tentang
sharing economy yang gejalanya sudah marak di mana-mana. Kita bilang mereka
menerapkan strategi “predatory pricing“. Kita juga bilang, aspek keamanan
mereka tak terjamin.
Kedua isu itu sudah mereka diskusikan sejak 3 tahun yang
lalu. Makanya mereka mengembangkan sistem komunal dan rating. Siapapun yang
reputasinya buruk dari consumer experience, mereka drop dari komunitas berbagi
itu. Sejarah hidup mereka di-review dari perilaku sehari-hari di dunia maya.
Maka, bagi para orang tua, cara kerja anak-anak muda ini
sulit dipahami. Sebagian pengambil kebijakan dan para pelaku usaha lama yang
sudah terikat dengan fixed cost yang besar, menuntut agar usaha mereka
dihambat. Atau kata publik, dikriminalisasi. Ditangkap, dijebak, dibubarkan,
diblokir, dan diusir dari republik ini.
Namun susahnya, dunia sharing ini adalah dunia yang tak
mengenal batas-batas negara. Diusir dari sini, ia bisa dioperasikan dari luar
negeri. Di luar negri, kriminalisasi, denda dan larangan sudah dilakukan
berkali-kali, tetapi mereka kembali hidup lagi di tempat lain, bahkan dimodali
Silicon Valley.
Saya sendiri memilih jalan perubahan. Anda tak akan mungkin
melawan proses alamiah ini. Daripada terus bertengkar, lebih baik beradaptasi.
Sejak dulu, para ahli sudah mengingatkan, teknologi baru
menuntut manusia-manusia berpikir dengan cara baru. Kata Peter Drucker, New
Technology X Old Mindset hasilnya: Fail! Gagal! Jadi teknologi baru butuh
mindset baru. Itu baru menjadi kesejahteraan.
Jadi, para pelaku usaha yang lama harus berubah seperti
tukang-tukang ojek pangkalan yang kini sudah berjaket hijau atau biru.
Sebagian customer masih nyaman pakai taksi langganannya.
Tetapi pasarnya tinggal sedikit. Tak sebesar dulu lagi. Nah sebagian lagi,
harus disiapkan dengan platform baru: sharing economy. Dan ingat, sebentar lagi
pemilik-pemilik hotel pun akan berdemo dan para pekerjanya menuntut airbnb.com,
couchsurfing.com dan sejenisnya dibubarkan.
Harta-harta Yang Menganggur
Problem yang muncul dari peradaban owning economy adalah
sampah menumpuk dimana-mana, karena semua manusia ingin memiliki
sendiri-sendiri. Jalanan jadi super macet di seluruh dunia, air semakin kotor
dan gap kaya-miskin begitu besar.
Semua ini disebabkan oleh tragedi kapitalisme yang menghargai
penumpukan modal, hak-hak kekayaan individu “yang tak mau berbagi” secara adil
dengan efek penguasaan aset-aset strategis.
Padahal dulu, orang-orang tua kita hidup dalam sistem
berbagi. Mereka hidup di kampung dan bebas melintasi tanah milik orang lain
atau tanah ulayat yang tak berpagar.
Suasananya berubah, begitu tanah-tanah itu dikuasai orang
lain yang mampu mengubah status tanahnya. Mereka tak lagi berbagi bahkan untuk
sekadar numpang lewat saja.
Peradaban owning economy membuat individu-individu tertentu
cepat mengendus harta-harta strategis, dan memagarinya, walau untuk jangka
waktu yang lama tak digunakan.
Akibatnya di abad 21 ini lebih dari 50 persen tanah-tanah itu
menganggur. Termasuk lahan-lahan pertanian yang kelak akan dialihfungsikan.
Maka ia hanya ditumbuhi ilalang dan dipagari tinggi. Para ekonom menyebut
istilahnya sebagai underutilized atau idle capacity. Boros, menganggur, tak
produktif.
Pabrik-pabrik, perkebunan, vila mewah, mobil-mobil keren,
semua dikuasai, tetapi belum tentu dipakai sebulan sekali oleh pemiliknya.
Menjadi rumah hantu atau pajangan tak bermanfaat. Nice to have, only!
Sampailah muncul teknologi baru, dengan generasi perubahan.
Bagi kaum muda sharing economy dianggap sebagai penyelamat planet ini dari
keserakahan manusia. Mereka menggagas ideologi-ideologi praktis tentang
kesempatan berbagi. Setelah kewirausahaan sosial, lalu sharing economy.
Mereka bilang, “buat apa membeli yang baru, kalau
barang-barang yang lama saja masih bisa dipakai orang lain.” Maka jutaan
barang-barang bekas yang ada di garasi dan gudang rumah dijual kembali via
e-Bay, OLX atau Kaskus. Gila, piringan hitam zaman dulu hidup lagi. Velg-velg
mobil yang sudah langka kini bisa ditemui.
Setelah itu kebun-kebun yang menganggur ditawarkan kepada
anak-anak muda yang mau bertani, hasilnya mereka bantu jualkan langsung ke
konsumen via igrow.com. Lalu pemilik-pemilik rumah-rumah atau satu-dua kamar
yang kosong ditawarkan. Bahkan ada tuan rumah yang menawarkan jasa plus sebagai
guide buat jalan-jalan. Persis seperti menginap di rumah paman.
Di Perancis ada komunitas yang menawarkan mesin cuci pakaian,
bahkan juga mesin cuci piring. Di Indonesia, ada yang menawarkan jasa pijet,
yang pesertanya bahkan ada lulusan D3 fisioterapi untuk merawat pasien stroke.
Prinsipnya, lebih baik jadi uang daripada rusak tak terawat; lebih baik murah
tapi terpakai penuh ketimbang underutilized.
Ketika sharing economy menjadi gejala ekonomi yang marak,
maka gelombang ini akan terjadi: Deflasi karena harga-harga akan turun, ledakan
pariwisata dalam jumlah yang tak terduga karena banyak pilihan menginap yang
murah, aset-aset milik masyarakat yang mengganggur menjadi produktif, dan
kerusakan alam lebih terjaga.
Sebaliknya, ia juga menimbulkan dampak-dampak negatif:
Pengangguran bagi yang tak lolos dalam seleksi alam (persaingan) dengan
business model baru ini, kerugian-kerugian besar dari sektor-sektor usaha
konvensional yang konsumennya shifting (berpindah), dan kriminalisasi oleh para
penegak hukum atau pembuat kebijakan yang terlambat mengatur.
Sekarang negara punya dua pilihan. Pertama, tetap hidup dalam
owning economy, dengan risiko pasar yang besar ini menjadi ilegal economy
dengan operator pengendali dari luar Indonesia.
Kedua, melegalkan sharing economy dan mendorong pelaku-pelaku
lama menyesuaikan diri.
Silahkan direnungkan!
sumber: kompas.com
sumber: kompas.com
Water Hack Burns 2 lb of Fat OVERNIGHT
ReplyDeleteWell over 160000 men and women are trying a simple and SECRET "water hack" to drop 1-2 lbs each night in their sleep.
It is painless and it works every time.
You can do it yourself by following these easy steps:
1) Go get a clear glass and fill it up half full
2) Proceed to follow this strange HACK
you'll be 1-2 lbs thinner in the morning!