Rumusan dan Keputusan Final Para Kiai NU Jatim tentang Islam Nusantara
Keputusan Bahtsul Masail Maudhu’iyah PWNU Jawa Timur tentang
Islam Nusantara di Universitas Negeri Malang, 13 Februari 2016.
A. Mukadimah
B. Poin-poin Pembahasan
1. Maksud Islam Nusantara
2. Metode Dakwah Islam Nusantara
3. Landasan dalam Menyikapi Tradisi/Budaya
a. Ayat al-Quran dan hadits yang
Redaksinya Mengakomodir Tradisi/Budaya Masyarakat
b. Pengakomodiran Tradisi/Budaya
Jahiliyah Menjadi Ajaran Islam
c. Pendekatan Terhadap Tradisi/Budaya
d. Melestarikan Tradisi/Budaya yang
Menjadi Media Dakwah
4. Sikap dan Toleransi terhadap Pluralitas Agama dan
Pemahaman Keagamaan
a. Sikap terhadap Pluralitas Agama
b. Toleransi terhadap Agama Lain
c. Toleransi terhadap Pemahaman
Keagamaan Selain Ahlusssunnah wal Jama’ah
5. Konsistensi Menjaga Persatuan Bangsa untuk Memperkokoh
Integritas NKRI
Musahih:
KH. Syafruddin Syarif
KH. Romadlon Khotib
KH. Marzuki Mustamar
KH. Farihin Muhson
KH. Muhibbul Aman Ali
Perumus:
Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I.
H. Azizi Hasbulloh
H. MB. Firjhaun Barlaman
H. Athoillah Anwar
H. M. Mujab, Ph.D
Moderator:
Ahmad Muntaha AM
Notulen:
H. Ali Maghfur Syadzili, S.Pd.I.
H. Syihabuddin Sholeh
H. Muhammad Mughits
Ali Romzi
ISLAM NUSANTARA
Mukadimah
Pakar sejarah Ibn Khaldun (1332-1406 M) dalam karyanya,
Muqaddimah (37-38) mengatakan:
أَنَّ أَحْوَالَ
الْعَالَمِ وَالْأُمَمِ وَعَوَائِدَهُمْ وَنِحَلَهُمْ لَا تَدُومُ عَلىٰ وَتِيرَةٍ
وَاحِدَةٍ وَمِنْهَاجٍ مُسْتَقِرٍّ، إِنَّمَا هُوَ اخْتِلَافٌ عَلىٰ الْأَيَّامِ وَالْأَزْمِنَةِ،
وَانْتِقَالٌ مِنْ حَالٍ إِلىٰ حَالٍ. وَكَمَا يَكُونُ ذٰلِكَ فِي الْأَشْخَاصِ وَالْأَوْقَاتِ
وَالْأَمْصَارِ، فَكَذٰلِكَ يَقَعُ فِي الْآفَاقِ وَالْأَقْطَارِ وَالْأَزْمِنَةِ وَالدُّوَلِ
سُنَّةُ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ.
“Sungguh keadaan dunia, bangsa-bangsa, adat-istiadat dan
keyakinan mereka tidak selalu mengikuti satu model dan sistem yang tetap,
melainkan selalu berbeda-beda (berubah) seiring perjalanan hari dan masa,
berpindah dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Sebagaimana hal itu terjadi
pada manusia, waktu, dan kota, di berbagai kawasan, zaman, dan negeri juga
terjadi/berlangsung sunnah Allah (sunnatullah) yang telah terjadi pada
hamba-hambaNya.”
Di bumi Nusantara (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI)
terdapat tradisi dan budaya dalam sistem pengimplementasian ajaran agama,
sehingga hal itu menjadi ciri khas Islam di Nusantara yang tidak dimililiki dan
tidak ada di negeri lain. Perbedaan tersebut sangat tampak dan dapat dilihat
secara riil dalam beberapa hal, antara lain:
1. Dalam implementasi amalan Islam di Nusantara ada tradisi
halalbihalal setiap tahun, haul, silaturrahim setiap hari raya (Idul Fitri),
hari raya ketupat, baca sholawat diiringi terbangan, sedekahan yang
diistilahkan selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, tingkepan,
sepasaran bayi, sepasaran pengantin, arak-arak pengantin yang meliputi undang
mantu, ngunduh mantu, sekaligus diadakan Walimatul ‘Urs baik oleh keluarga
wanita maupun keluarga laki-laki, dan tradisi lainnya.
2. Dalam hal berpakaian ada yang memakai sarung, berkopyah,
pakaian adat Betawi, Jawa, Papua, Bali, Madura, dan masih banyak model pakian
adat lain, terutama telihat dalam pakaian pernikahan dimana pengantin dirias
dan dipajang di pelaminan, dan lain sebagainya.
3. Dalam hal toleransi pengamalan ajaran Islam, ada yang
shalat Id di lapangan, masjid, musalla, bahkan ada hari raya dua kali. Ada yang
shalat Tarawih 20 rakaat, ada pula yang 8 rakaat. Diantara pelaksanaan Tarawih
ada yang memisahnya dengan taradhi bagi empat al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dengan
shalawat, dan ada yang memisahnya dengan doa. Dalam acara akikah ada yang diisi
dengan shalawatan, dan ada yang diisi tahlilan, dan selainnya.
4. Dalam hal toleransi dengan budaya yang mengandung sejarah
atau ajaran, ada di sebagian daerah dilarang menyembelih sapi seperti di Kudus
Jawa tengah yang konon merupakan bentuk toleransi Sunan Kudus pada ajaran Hindu
yang menyucikannya, adat pengantin dengan menggunakan janur kuning, kembang
mayang, dan selainnya.
5. Dalam toleransi dengan agama lain ada hari libur nasional
karena hari raya Islam, hari raya Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan ada hari
libur lainnya.
Kemudian Islam Nusantara menjadi tema utama pada Muktamar NU
ke 33 di Jombang. Munculnya istilah Islam Nusantara mengundang reaksi yang
beragam, baik yang pro maupun yang kontra sejak sebelum Muktamar digelar sampai
sekarang. Karena itu, PW LBM NU Jawa Timur memandang sangat perlu membuat rumusan
tentang Islam Nusantara secara objektif dan komprehensif dalam rangka
menyatukan persepsi tentang Islam Nusantara.
Pembahasan
1. Maksud Islam Nusantara
Islam adalah agama yang dibawa Rasulullah Saw., sedangkan
kata “Nusantara” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sebutan atau nama
bagi seluruh kepulauan Indonesia. Wikipedia menambahkan, wilayah kepulauan yang
membentang dari Sumatera sampai Papua itu, sekarang sebagian besar merupakan
wilayah negara Indonesia. Ketika penggunaan nama “Indonesia” (berarti Kepulauan
Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai
sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang
dipakai di Indonesia.
Sebenarnya belum ada pengertian definitif bagi Islam Nusantara.
Namun demikian Islam Nusantara yang dimaksud NU adalah: a) Islam Ahlussunnah
wal Jama'ah yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan di bumi Nusantara
oleh para pendakwahnya, yang diantara tujuannya untuk mengantisipasi dan
membentengi umat dari paham radikalisme, liberalisme, Syi’ah, Wahabi, dan
paham-paham lain yang tidak sejalan dengan Ahlussunnah wal Jama'ah, sebagaimana
tersirat dalam penjelasan Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadhratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah (h. 9):
فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ
تَمَسُّكِ أَهْلِ جَاوَى بِمَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ، وَبَيَانِ ابْتِدَاءِ
ظُهُوْرِ البِدَعِ وَانْتِشَارِهَا فِي أَرْضِ جَاوَى، وَبَيَانِ أَنْوَاعِ المُبْتَدِعِيْنَ
فِي هَذَا الزَّمَانِ. قَدْ كَانَ مُسْلِمُوْا الأَقْطَارِ الجَاوِيَّةِ فِي الأَزْمَانِ
السَّالِفَةِ الخَالِيَةِ مُتَّفِقِي الآرَاءِ وَالمَذْهَبِ وَمُتَّحِدِي المَأْخَذِ
وَالمَشْرَبِ، فَكُلُّهُمْ فِي الفِقْهِ عَلَى المَذْهَبِ النَّفِيْسِ مَذْهَبِ الإِمَامِ
مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْس، وَفِي أُصُوْلِ الدِّيْنِ عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ أَبِي
الحَسَنِ الأَشْعَرِي، وَفِي التَّصَوُّفِ عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ الغَزالِي وَالإِمَامِ
أَبِي الحَسَنِ الشَّاذِلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ.
Selain itu, Islam Nusantara menurut NU juga dimaksudkan
sebagai b) metode (manhaj) dakwah Islam di bumi Nusantara di tengah penduduknya
yang multi etnis, multi budaya, dan multi agama yang dilakukan secara santun
dan damai, seperti tersirat dalam pernyataan Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori
Tuban dalam Ahla al-Musamarah fi Hikayah al-Auliya al-‘Asyrah, (h. 23-24) saat
menghikayatkan dakwah santun Sayyid Rahmat (Sunan Ampel):
ثم قال السيد رحمة
أنه لم يوجد في هذه الجزيرة مسلم إلا أنا وأخي السيد رجا فنديتا وصاحبي أبو هريرة.
فنحن أول مسلم في جريرة جاوه … فلم يزل السيد رحمة يدعون الناس إلى دين الله تعالى
وإلى عبادته حتى أتبعه في الإسلام جميع أهل عمفيل وما حوله وأكثر أهل سوربايا. وما
ذلك إلا بحسن موعظته وحكمته في الدعوة وحسن خلقه مع الناس وحسن مجادلتهم إياهم امتثالا
لقوله تعالى: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ الآية (النحل: 125) وقوله تعالى: وَاخْفِضْ
جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ (الحجر: 88)، وقوله تعالى: وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
(لقمان: 17). وهكذا ينبغي أن يكون أئمة المسلمين ومشايخهم على هذه الطريقة حتى يكون
الناس يدخلون في دين الله أفواجا.
Dalam kitab yang sama, Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori juga
memaparkan dakwah Maulana Ishaq (paman Sunan Ampel) yang didahului dengan
khalwat untuk riyadhah (tirakat) menjaga konsistensi mengamalkan syariat, baik
ibadah fardhu maupun sunnah. Kemudian dengan karamahnya mampu menyembuhkan Dewi
Sekardadu putri Minak Sembayu Raja Blambangan Banyuwangi yang sedang sakit dan
tidak dapat disembuhkan para tabib saat itu, sehingga dinikahkan dengannya dan
diberi hadiah separuh wilayah Blambangan. Jasa besar, posisi strategis, dan
keistikamahan dakwahnya menjadi sebab keberhasilan dakwahnya mengislamkan
banyak penduduk Blambangan, Banyuwangi (Ahla al-Musamarah, h. 24-26).
2. Metode Dakwah Islam Nusantara
Sampai kini masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan
sejarawan tentang masuknya Islam di Nusantara. Diantara yang menjelaskannya
adalah ulama Nusantara Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori dalam Ahla al-Musamarah,
Islam masuk ke Nusantara (Jawa secara lebih khusus) pada akhir abad keenam
Hijriyyah, bersamaan dengan kedatangan Sayyid Rahmat dan Sayyid Raja Pandita
dari Negeri Campa (Vietnam sekarang) ke Majapahit untuk menjenguk bibinya, Martanigrum,
yang menjadi istri Raja Brawijaya. Sementara menurut Sayyid Muhammad Dhiya’
Syahab, dalam ta’liqatnya atas kitab Syams adz-Dzahirah, Sayyid Ali Rahmat
datang ke Jawa pada 751 H (1351 M). Meskipun demikian, semua sepakat bahwa
Islam masuk ke Nusantara dengan dakwah santun dan penuh hikmah.
Metode dakwah Islam Nusantara yang ramah, santun dan penuh
hikmah, setidaknya meliputi metode dakwah Islam Nusantara masa Walisongo dan
masa kekinian. Pertama, metode dakwah Islam Nusantara pada masa Walisongo sebagaimana
tergambar dalam Ahla al-Musamarah fi al-Auliya al-‘Asyrah yang antara lain
dengan:
a. Pendidikan: pendidikan agama Islam yang kokoh meliputi
syariat, tarekat, dan hakikat sebagaimana pendidikan yang dilangsungkan oleh
Sunan Ampel.
b. Kaderisasi: menghasilkan generasi penerus yang konsisten
menjalankan syariat, riyadhah, dan menjauhi segala kemungkaran, sehingga mampu
menjadi pimpinan yang mengayomi sekaligus disegani di tengah masyarakatnya dan
mampu mengajaknya untuk memeluk agama Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh
Sunan Ampel dan pamannya, Maulana Ishaq, dalam mendidik anak-anak dan
murid-muridnya.
c. Dakwah: konsistensi menjalankan dakwah yang ramah dan
penuh kesantunan sebagaimana dakwah Walisongo sehingga menarik simpati dan
relatif diterima masyarakat luas.
d. Jaringan: jaringan dakwah yang kokoh, sistematis, dan
terorganisir, penyebaran murid-murid Sunan Ampel. Sunan Bonang di Lasem dan
Tuban, Sunan Gunungjati di Cirebon, Sunan Giri di Tandes, Raden Fatah di
Bintoro, Sunan Drajat di Lamongan dan Sedayu, dan selainnya.
e. Budaya: seperti pendirian masjid sebagai pusat peradaban
Islam, seperti masjid Ampel, Masjid Demak.
f. Politik: politik li i’lai kalimatillah yang bersentral
pada musyawarah ulama.
(Referensi: Ahla al-Musamarah, h. 14-48 dan Syams
adz-Dzahirah, I/525).
Kedua, metode dakwah Islam Nusantara di masa kini secara
prinsip sama dengan metode dakwah di masa Walisongo, meskipun dalam strateginya
perlu dilakukan dinamisasi sesuai tantangan zaman, dengan tetap berpijak pada
aturan syar’i. Secara terperinci metode tersebut dapat dilakukan dengan:
a. Berdakwah dengan hikmah, mau’idzah hasanah, dan berdialog
dengan penuh kesantunan.
b. Toleran terhadap budaya lokal tidak bertentangan dengan
agama.
c. Memberi teladan dengan al-akhlak al-karimah.
d. Memprioritaskan mashlahah ‘ammah daripada mashlahah
khasshah.
e. Berprinsip irtikab akhaff ad-dhararain.
f. Berprinsip dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih.
Ulama sepakat mashlahah yang dijadikan dasar adalah mashlahah
yang punya pijakan syariat, sehingga mashlahah yang mengikuti hawa nafsu
ditolak. Sebab, bila mashlahah dikembalikan kepada manusia maka standarnya akan
berbeda-beda sesuai kepentingan masing-masing. Inilah yang melatarbelakangi
rumusan fikih dikembalikan pada madzahib mudawwan (mazhab yang terkodifikasi).
Allah Swt. berfirman:
يُوصِيكُمُ اللهُ
فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ
اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ
وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ
فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا
أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً
فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيما حَكِيمًا. (النساء: 11(
وَلَوِ اتَّبَعَ
الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ. (المؤمنون:
71(
اَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ
فَلاَ تَكُن مِّن الْمُمْتَرِينَ (آل عمران: 60(
Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa mengatakan, orang
menganggap mashlahah tanpa dasar dalil syar’i maka batal. Beliau juga
mengatakan, mashlahah yang dilegalkan syara’ adalah menjaga al-kulliyah
al-khams, yakni:
a. Melindungi agama
b. Melindungi nyawa
c. Melindungi akal
d. Melilndungi keturunan
e. Melindungi harta.
Terkait mashlahah mursalah atau munasib mursal yang
diutarakan Imam Malik, maka fuqaha Syafi’iyyah, Hanafiyah dan bahkan Ashab Imam
Malik sendiri telah melarang mencentuskan hukum dengan dalil mashlahah
mursalah. Lalu apa maksud maslahah mursalah Imam Malik ini? Jika Imam Malik
memang melegalkan mashlahah mursalah, maka ulama menginterpretasikan bahwa yang
dimaksud Imam Malik adalah al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah
al-qath’iyyah, bukan dalam setiap mashlahah.
Seperti halnya dalam kondisi perang, tentara kafir menjadikan
sejumlah orang Islam sebagai perisai, padahal andaikan mereka berhasil
menerobos maka berakibat fatal karena dapat menguasai/menjajah negeri kaum
Muslimin, sedangkan bila diserang jelas-jelas akan menjamin keamanan bagi kaum
Muslimin yang lebih banyak, namun pasti mengorbankan sejumlah orang Islam yang
dijadikan sebagai perisai tersebut. Dalam kasus ini, penyerangan terhadap
mereka sangat ideal dan kemaslahatannya sangat nyata (termasuk kategori
al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah al-qath’iyyah), meskipun tidak
terdapat penjelasan dari syara’ apakah dii’tibar atau diilgha’kan. Dalam kasus
ini Imam Malik membolehkan penyerangan dengan dalil mashlahah mursalah, tidak
dalam semua mashlahah.
Cara mengaplikasikan kaidah maslahah dalam realitas saat ini
adalah dengan:
a. Mengembalikannya pada dalil-dalil syariat.
b. Bemilah-milah antara hukum yang bersifat ta’abbudi
(dogmatif) dengan hukum ta’aqquli (yang diketahui maksudnya).
c. Membedakan antara hikmah dan ‘illat.
(Referensi: Al-Bahr al-Madid, IV/95, Tafsir al-Bahr
al-Muhith, VI/48, al-Mahshul fi ‘Ilm al-Ushul, V/172-175, al-Mustashfa, VI/48,
al-Ihkam, IV/160, at-Taqrir wa at-Tahbir, III/149, Tafsir al-Bahr al-Muhith,
VI/48, dan Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48).
3. Landasan dalam Menyikapi Tradisi/Budaya
Islam tidak anti terhadap tradisi/budaya, bahkan sebaliknya
Islam akomodatif padanya. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan dua hal,
yaitu berbagai ayat al-Quran dan hadits yang dalam redaksinya mengakomodir
tradisi/budaya; dan beberapa tradisi/budaya jahiliyah menjadi ajaran Islam.
Selain itu, dakwah Islam di Nusantara ketika berhadapan dengan berbagai
tradisi/budaya bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan sebagaimana akan
dijelaskan.
a. Redaksi Ayat Al-Quran dan Hadits yang Mengakomodir
Tradisi/Budaya Masyarakat
Pertama, ayat tentang riba:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ (آل عمران :13(
Jika dipahahami dari makna literalnya, riba yang dilarang
dalam ayat ini hanya riba yang berlipat-ganda, bukan riba yang sedikit. Tetapi
tidak ada satupun pendapat Imam Mujtahid yang membolehkannya meskipun sedikit.
Sebab kata أَضْعَافًا
مُضَاعَفَةً
merupakan pengakomodasian budaya kafir jahiliyyah dimana saat itu mereka
berlomba-lomba dan bangga dengan riba yang berlipat ganda.
Kedua, ayat tentang menikahi anak tiri:
وَرَبَائِبُكُمُ
اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنِ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُم (النساء: 23(
Secara literal ayat ini hanya menyebutkan keharaman menikahi
anak tiri yang ibunya sudah disetubuhi jika anak tiri tersebut dirawat ayah
tirinya. Tapi tidak ada satupun Imam Mujtahid yang menghalalkan orang menikahi
anak tiri yang ibunya sudah disetubuhi, baik anak tersebut dirawat ayah tirinya
ataupun tidak. Sebab penyebutan kata فِي حُجُورِكُمْ merupakan pengakomodasian budaya jahiliyyah dimana jika ada
percerian maka anak perempuan mereka cenderung mengikuti ibunya meskipun harus
hidup bersama ayah tiri, daripada mengikuti ayahnya tapi harus hidup bersama
ibu tiri, karena biasanya yang kejam adalah ibu tiri bukan ayah tiri.
Ketiga, ayat tentang perempuan dan laki-laki jalang:
اَلْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ
لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ
مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ. (النور: 26(
Dalam ayat ini pula, secara literal Allah menjelaskan bahwa
wanita jalang untuk pria jalang, dan sebaliknya; dan wanita shalihah untuk pria
shalih dan sebaliknya. Tapi dalam syariat tidak diharamkan wanita jalang
bersuami pria shalih dan sebaliknya. Penjelasan ayat di atas hanya sekedar
mengakomodir budaya, yakni orang-orang baik biasanya akan memilih orang-orang
baik dan sebaliknya. Selain itu, masih banyak ayat redaksinya mengakomodir
budaya, sehingga secara implisit mengajarkan agar melestarikan budaya.
Keempat, anjuran untuk menjaga etika daripada melaksanakan
perintah yang tidak wajib. Meskipun ada hadits yang melarang berdiri karena
kedatangan Nabi Saw., namun dalam hadits lain beliau membiarkan Hassan Ra.
berdiri menghormatinya sesuai tradisi masyarakat Arab.
Bahkan di hadits lain beliau memerintahkan para sahabat untuk
berdiri menghormati Mu’adz bin Jabal Ra.:
عَنْ سَعْدِ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ سَمِعْتُ
أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ قَالَ نَزَلَ أَهْلُ قُرَيْظَةَ عَلَى حُكْمِ سَعْدِ بْنِ
مُعَاذٍ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى سَعْدٍ فَأَتَاهُ عَلَى
حِمَارٍ فَلَمَّا دَنَا قَرِيبًا مِنَ الْمَسْجِدِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- لِلأَنْصَارِ « قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ – أَوْ خَيْرِكُمْ . (رواه مسلم(
(Referensi: Rawai’ al-Bayan, I/292-293 dan 1455 dan I’anah
ath-Thalibin, III/305).
b. Pengakomodiran Tradisi/Budaya Jahiliyah Menjadi Ajaran
Islam
Pertama, tradisi puasa Asyura yang biasa dilakukan masyarakat
Jahiliyah diakomodir menjadi kesunnahan dalam Islam:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
– رضى الله عنهما – قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ
فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوا
هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى أَظْهَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِى إِسْرَائِيلَ عَلَى
فِرْعَوْنَ فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه
وسلم- « نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ. (رواه مسلم(
Kedua, tradisi akikah yang pada masa Jahiliyah diakomodir
menjadi kesunnahan dalam Islam, kecuali kebiasaan mengolesi kepala bayi dengan
darah hewan akikah diganti dengan mengolesinya dengan minyak wangi:
عَن عبد الله بن
بُرَيْدَة، عَن أَبِيه قَالَ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّة إِذا ولد لِأَحَدِنَا غُلَام
ذبح شَاة ولطخ رَأسه بدمها، فَلَمَّا جَاءَ الله بِالْإِسْلَامِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً
ونحلق رَأسه ونلطخه بزعفران. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالْحَاكِم. صَحِيح(
Ketiga, ritual-ritual haji. Seperti thawaf yang sudah menjadi
tradisi kaum Jahiliyyah dalam Islam ditetapkan sebagai salah satu ritual haji,
namun dengan mengganti kebiasaan telanjang di dalamnya dengan pakaian ihram.
Keempat, kebolehan untuk menerima hadiah makanan dari tradisi
kaum Majusi di hari raya mereka selain daging sembelihannya.
(Referensi: Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, VIII/9,
as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Ishaq, III/305, dan Mushannaf Ibn Abi Syaibah,
XII/249).
c. Pendekatan Terhadap Tradisi/Budaya
Dalam tataran praktik dakwah Islam di Nusantara, ketika
berhadapan dengan berbagai tradisi/budaya bisa digunakan empat pendekatan
(approach), yaitu adaptasi, netralisasi, minimalisasi, dan amputasi.
Pertama pendekatan adaptasi, dilakukan untuk menyikapi tradisi/budaya
yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syariat (tidak haram). Bahkan hal
ini merupakan implementasi dari al-akhlaq al-karimah yang dianjurkan oleh Nabi
Saw. Tradisi/budaya yang disikapi dengan pendekatan adaptasi mencakup
tradisi/budaya yang muncul setelah Islam berkembang maupun sebelumnya. Seperti
tradisi bahasa kromo inggil dan kromo alus dalam masyarakat Jawa untuk sopan
santun terhadap orang yang lebih tua.
عن معاذِ بنِ جبلٍ
رضي الله عنهما، عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلم، قَالَ: اتَّقِ الله حَيْثُمَا كُنْتَ
وَأتْبعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.
(رواه الترمذي، وَقالَ: حديث حسن(
Kedua pendekatan netralisasi, dilakukan untuk menyikapi
tradisi/budaya yang di dalamnya tercampur antara hal-hal yang diharamkan yang
dapat dihilangkan dan hal-hal yang dibolehkan. Netralisasi terhadap budaya
seperti ini dilakukan dengan menghilangkan keharamannya dan melestarikan
selainnya. Allah berfirman:
فَإِذَا قَضَيْتُمْ
مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ
مِنْ خَلَاقٍ. (البقرة: 200(
Dalam menjelaskan sabab an-nuzul ayat ini Imam Mujahid
menyatakan, bahwa orang-orang Jahiliyah seusai melaksanakan ibadahnya biasa
berkumpul dan saling membangga-banggakan nenek moyang dan nasab mereka yang
jelas-jelas dilarang dalam Islam, kemudian turun ayat tersebut yang tidak
melarang perkumpulannya namun hanya memerintahkan agar isinya diganti dengan
dzikir kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak menganjurkan
penghapusan tradisi/budaya secara frontal, namun menganjurkan untuk meluruskan
hal-hal yang belum lurus saja.
Ketiga pendekatan minimalisasi, dilakukan untuk menyikapi
budaya yang mengandung keharaman yang belum bisa dihilangkan seketika.
Minimalisasi budaya semacam ini dilakukan dengan cara: a) mengurangi
keharamannya sebisa mungkin, yaitu dengan menggantinya dengan keharaman yang
lebih ringan secara bertahap sampai hilang atau minimal berkurang; b)
membiarkannya sekira keharaman tersebut dapat melalaikan pelakunya dari
keharaman lain yang lebih berat.
Keempat pendekatan amputasi, dilakukan untuk menyikapi budaya
yang mengandung keharaman yang harus dihilangkan. Amputasi terhadap budaya
semacam ini dilakukan secara bertahap, seperti terhadap keyakinan animisme dan
dinamisme. Meskipun dilakukan dengan cara menghilangkan hingga ke akarnya,
pendekatan ini dilakukan secara bertahap. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. dalam
menyikapi keyakinan paganisme di masyarakat Arab menghancurkan fisik
berhala-berhala, berikut berhala keyakinan, pemikiran, dan kebudayaannya.
Tradisi tersebut berhasil dihilangkan, namun baru terlaksana secara massif pada
peristiwa pembebasan Kota Makkah (Fath Makkah) pada 630 M/8 H, atau saat dakwah
Islam telah berusia 21 tahun.
عن عبد الله بن مسعود
رضي الله عنه قال :دخل النبي صلى الله عليه و سلم مكة وحول البيت ستون وثلاثمائة نصب
فجعل يطعنها بعود في يده ويقول: جاء الحق وزهق الباطل إن الباطل كان زهوقا. جاء الحق
وما يبدئ الباطل وما يعيد. (رواه البخاري(
(Referensi: Mirqah Shu’ud at-Tasydiq fi Syarh Sulam
at-Taufiq, 61, Majma’ az-Zawa’id, VIII/347, Asbab an-Nuzul karya al-Wahidhi,
I/39, Ihya ‘Ulum ad-Din, III/62, dan I’lam al-Muwaqqi’in, III/12).
d. Melestarikan Tradisi/Budaya yang Menjadi Media Dakwah
Tradisi/Budaya yang telah menjadi media dakwah dan tidak
bertentangan dengan agama, semestinya dilestarikan. Sebagaimana tradisi kirim
doa untuk mayit pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000 dari kematiannya,
sebab tidak bertentangan dengan agama dan justru menarik masyarakat berkirim
doa bagi orang-orang yang telah meninggal. Sebab jika tradisi ini dihilangkan,
kebiasaan kirim doa juga akan ikut hilang atau berkurang.
Namun bila di tempat atau waktu tertentu tidak efektif dan
justru kontra produktif bagi dakwah Islam di Nusantara, maka tradisi tersebut
semestinya diubah secara arif dan bertahap sesuai kepentingan dakwah (dikembalikan
pada prinsip mashlahah).
Referensi: Referensi Metode Dakwah Islam Nusantara, Nihayah
az-Zain, 281, Majma’ az-Zawa’id, VIII/347, al-Adam as-Syar’iyyah, II/114, dan
Ihya ‘Ulum ad-Din, III/62).
4. Sikap dan Toleransi terhadap Pluralitas Agama dan
Pemahaman Keagamaan
a. Sikap terhadap Pluralitas Agama
Pertama, meyakini bahwa pluralitas agama (perbedaan agama,
bukan pluralisme menyakini kebenaran semua agama) di dunia merupakan
sunnatullah. Ini seharusnya yang menjadi asas dalam amr ma’ruf nahi munkar,
sehingga jelas tujuannya untuk melakukan perintah Allah, bukan untuk
benar-benar berhasil menghilangkan semua kemungkaran dari muka bumi yang justru
dalam prosesnya sering melanggar prinsip-prinsipnya.
... وَلَوْ شَاء اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلَكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَآ آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى
الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (المائدة:
48(
Kedua, memperkuat keyakinan atas kebenaran ajaran Islam;
tidak mengikuti ajaran agama lain dan menghindari memaki-maki penganutnya.
Allah Swt. berfirman:
وَلاَ تَسُبُّواْ
الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ
فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُون. (الانعام: 108(
Ketiga, menolak dakwah yang bertentangan dengan Islam dengan
cara terbaik dan bijaksana, serta menunjukkan kebaikan ajaran Islam. Allah Swt.
berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ
قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ.
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا
الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. (فصلت: 33-34(
Keempat, amr ma’ruf nahi munkar dengan arif dan bijaksana.
Allah Swt. berfirman:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ.
(النحل: 125(
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ
بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
(البقرة: 44(
(Referensi: Mafatih al-Ghaib, XIII/114-116, III/44 dan 193,
VIII/145, XX/112-114).
b. Toleransi terhadap Agama Lain
Toleransi terhadap agama lain yang berkembang di masyarakat
merupakan keniscayaan, demi terbangunnya kerukunan antarumat beragama di tengah
pluralitas. Bahkan Islam mengajarkan agar berpekerti baik terhadap semua
manusia tanpa memilih-milih, terhadap orang yang seagama maupun tidak, dan
terhadap orang shalih maupun sebaliknya. Al-Hakim at-Tirmidzi dalam Nawadir
al-Ushul (III/97) mengatakan:
وقال صلى الله عليه
وسلم: أوحى الله إلى إبراهيم عليه السلام يا إبراهيم حسن خلقك ولو مع الكفار تدخل مداخل
الأبرار فإن كلمتي سبقت لمن حسن خلقه أن أظله في عرشي وأن أسكنه في حظيرة قدسي وأن
أدنيه من جواري. وحسن الخلق على ثلاث منازل: أولها أن يحسن خلقه مع أمره ونهيه، الثانية
أن يحسن خلقه مع جميع خلقه، الثالثة أن يحسن خلقه مع تدبير ربه فلا يشاء إلا ما يشاء
له ربه.
Dalam rangka mendakwahkan agama Islam sebagai rahmat bagi
semesta alam, toleransi dapat dipraktikkan dengan menjalin mu’amalah dzahirah
yang baik antarumat beragama, memberi jaminan keselamatan jiwa dan harta, serta
tidak mengganggu pengamalan keyakinan lain selama tidak didemonstrasikan secara
provokatif di kawasan yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam.
Namun demikian, penerapan toleransi kaum Muslimin terhadap
agama lain perlu memperhatikan batas-batasnya sebagaimana berikut:
1) Tidak melampaui batas akidah sehingga terjerumus dalam
kekufuran, seperti rela dengan kekufuran, ikut meramaikan hari raya agama lain
dengan tujuan ikut mensyiarkan kekufuran, dan semisalnya, kecuali dalam kondisi
darurat.
2) Tidak melampaui batas syariat sehingga terjerumus dalam
keharaman, seperti ikut datang ke tempat ibadah agama lain saat perayaan hari
rayanya, mengundang pemeluk agama lain untuk menghadiri perayaan hari raya umat
Islam, mengucapkan selamat hari raya kepada mereka dan semisalnya, kecuali
dalam kondisi darurat.
(Referensi: Faidh al-Qadir, III/71, Mafatih al-Ghaib,
VIII/10-11, Hasyiyyah al-Bujairami, V/183, Qurrah al-‘Ain bi Fatawa Isma’il
az-Zain, 199, Qurrah al-‘Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209, Asna
al-Mathalib, III/167, al-Hawi al-Kabir, XIV/330, Qurrah al-‘Ain karya Muhammad
Sulaiman al-Kurdi, 208-209, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, IV/239, al-Adab
as-Syar’iyyah, IV/122, Bughyah al-Mustarsyidin, I/528, dan al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, XII/8).
c. Toleransi terhadap Pemahaman Keagamaan Selain Ahlusssunnah
wal Jama’ah
Selain pluralitas agama, di Nusantara terdapat bermacam
pemahaman keagamaan (akidah) dalam lingkungan Umat Islam, sehingga diperlukan
toleransi terhadap kelompok umat Islam yang dalam masalah furu’iyyah maupun ushuliyyah
berbeda pemahaman dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. Secara prinsip toleransi
dalam konteks ini tetap mengedepankan semangat Islam sebagai agama yang
merahmati semesta alam dan al-akhlaq al-karimah, seperti halnya dalam toleransi
antarumat beragama. Begitu pula dalam tataran praktiknya, batas-batas toleransi
terhadap kelompok umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah sama
dengan batas-batas dalam toleransi antarumat beragama, yaitu tidak boleh
melampaui batas akidah dan syariat.
Toleransi dalam konteks ini tidak menafikan semangat dakwah
untuk menunjukkan kebenaran (al-haqq) dan menghadapi berbagai syubhat
(propaganda) yang mereka sebarkan, terlebih yang bersifat provokatif, mengancam
kesatuan Umat Islam, integritas bangsa secara lebih luas.
عن معاوية بن حيدة
قال : خطبهم رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : حتى متى ترعون عن ذكر الفاجر هتكوه
حتى يحذره الناس. (رواه الطبراني في الثلاثة وإسناد الأوسط والصغير حسن رجاله موثقون
واختلف في بعضهم اختلافا لا يضر(
Selain itu, dalam menyikapi umat Islam yang tidak berpaham
Ahlussunnah wal Jama’ah perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
1) Dalam melakukan amr ma’ruf nahi munkar kepada mereka tidak
boleh sampai menimbulkan fitnah yang lebih besar, terlebih di daerah yang
jumlah mereka seimbang dengan jumlah umat Islam Sunni. Dalam kondisi seperti
ini amr ma’ruf nahi munkar wajib dikoordinasikan dengan pemerintah.
2) Tidak menganggap kufur mereka selama tidak terang-terangan
menampakkan hal-hal yang telah disepakati (ijma’) atas kekufurannya, yaitu
menafikan eksistensi Allah, melakukan syirk jali yang tidak mungkin dita’wil,
mengingkari kenabian, mengingkari ajaran Islam yang bersifat mutawatir atau
yang didasari ijma’ yang diketahui secara luas (ma’lum min ad-din bi ad-dharurah).
3) Meskipun salah dalam sebagian aqidahnya, selama tidak
sampai kufur mereka masih mungkin diampuni Allah Swt.
4) Dalam ranah individu, penganut paham Ahlussunnah wal
Jamaah tidak boleh beranggapan pasti masuk surga karena amalnya, sedangkan yang
lain pasti masuk neraka. Sebab, sekecil apapun setiap individu mempunyai dosa
dan jika tidak diampuni bisa saja kelak masuk neraka.
وَإِذَا سَمِعُوا
اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
سَلامٌ عَلَيْكُمْ لا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ. إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. (القصص:
55-56(
وَلِلّهِ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ. (ال عمران: 129(
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « لَنْ يُنْجِىَ أَحَدًا
مِنْكُمْ عَمَلُهُ ». قَالَ رَجُلٌ وَلاَ إِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ
إِيَّاىَ إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِىَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ وَلَكِنْ سَدِّدُوا
». (رواه مسلم(
(Referensi: Hasyiyyah al-Bujairami, V/183, al-jami’
as-Shaghir, I/85, Majma’ az-Zawa’id, I/375, al-Milal wa an-Nihal, II/321-322,
dan Mafahim Yajib an-Tushahhah, 18-19).
5. Konsistensi Menjaga Persatuan untuk Memperkokoh Integritas
Bangsa
NKRI dan Pancasila selain telah terbukti mampu menjadi
perekat bangsa sejak kemerdekaan hingga sekarang, juga mampu menjadi wadah
dakwah Islam Nusantara secara luas. Pertumbuhan Muslim di kawasan-kawasan
mayoritas non-Muslim juga semakin meningkat. Namun demikian, di tengah
perjalanan sejarah tantangan disintegrasi bangsa terkadang bermunculan, bahkan
wacana mendirikan negara di dalam negara terus mengemuka. Sebab itu,
internalisasi nilai-nilai kebangsaan, khususnya terkait NKRI dan Pancasila
sebagai upaya final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan
keharusan.
Berkenaan dengan itu perlu disadari, bahwa penerimaan
Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara telah sesuai
dengan spirit Piagam Madinah yang digagas oleh Rasulullah Saw., yang berhasil
menyatukan masyarakat yang plural dalam satu kesatuan negeri Madinah.
Sebagaimana diriwayatkan Ibn Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyah (II/126-129)
karya Ibn Hisyam, Piagam Madinah diantaranya menyatakan:
بِسْمِ اللهِ الرّحْمَنِ
الرّحِيمِ. هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ وَيَثْرِبَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ
فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ، إِنَّهُمْ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النّاسِ
… وَإِنّهُ مَنْ تَبِعَنَا مِنْ يَهُودَ فَإِنّ لَهُ النّصْرَ وَالْأُسْوَةَ غَيْرَ
مَظْلُومِينَ وَلَا مُتَنَاصَرِينَ عَلَيْهِمْ … وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ
مَعَ الْمُؤْمِنِينَ. لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمَيْنِ دِينُهُمْ وَمَوَالِيهِمْ
وَأَنْفُسُهُمْ إلّا مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ فَإِنّهُ لَا يُوتِغُ إلّا نَفْسَهُ وَأَهْلَ
بَيْتِهِ … وَإِنَّ عَلَى الْيَهُودِ نَفَقَتَهُمْ وَعَلَى الْمُسْلِمِينَ نَفَقَتَهُمْ
وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْرَ عَلَى مَنْ حَارَبَ أَهْلَ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ. وَإِنَّ
بَيْنَهُمْ النَّصْحَ وَالنَّصِيحَةَ وَالْبِرَّ دُونَ الْإِثْمِ، وَإِنّهُ لَمْ يَأْثَمْ
امْرِئِ بِحَلِيفِهِ، وَإِنّ النّصْرَ لِلْمَظْلُومِ، وَإِنَّ الْيَهُودَ يُنْفِقُونَ
مَعَ الْمُؤْمِنِينَ مَا دَامُوا مُحَارِبِينَ، وَإِنّ يَثْرِبَ حَرَامٌ جَوْفُهَا
لِأَهْلِ هَذِهِ الصّحِيفَةِ … وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النّصْرَ عَلَى مَنْ دَهَمَ يَثْرِبَ،
وَإِذَا دُعُوا إلَى صُلْحٍ يُصَالِحُونَهُ …
Dari Piagam Madinah dapat diambil spirit, bahwa Nabi Muhammad
Saw. menyatukan warga yang multi etnis dan multi agama menjadi ummah wahidah
(satu kesatuan bangsa). Semua warga punya kedudukan yang sederajat, sama-sama
berhak mendapatkan jaminan keamanan, melakukan aktifitas ekonomi,
mengaktualisasikan agama, sama-sama berkewajiban untuk saling memberi nasehat
dan berbuat kebaikan, menjaga keamanan serta integritas Madinah sebagai satu
kesatuan negeri menghadapi ancaman dari luar.
Selain itu, untuk memupuk persatuan di tengah masyarakat yang
plural perlu ditanamkan sikap menghargai perbedaan dan menjaga hak antarsesama,
diantaranya dengan:
a. Menghargai ajaran agama lain.
b. Melestarikan budaya dari suku dan agama apa pun selama
tidak bertentangan dengan syariat.
c. Mengapresiasi kebaikan/kelebihan orang lain dan mengakui
kekurangan diri sendiri.
d. Menghindari caci-maki terhadap orang lain karena alasan
perbedaan.
e. Menghindari anggapan menjadi orang yang paling baik dan
menganggap orang lain tidak baik, sehingga mengabaikan kewajiban berbuat baik.
f. Membiasakan berbuat kebajikan terhadap siapapun.
g. Memprioritaskan penanaman nilai-nilai agama secara utuh
dan mendalam di lingkungan internal Ahlussunah wal Jama'ah.
وَلاَ تَسُبُّواْ
الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ
فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ (سورةا لانعام اية 108(
ولِلّهِ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران: 129(
عن ابن عمر أن غيلان
بن سلمة الثقفي أسلم تحته عشر نسوة فقال له النبي صلى الله عليه و سلم: اختر منهن أربعا
… (رواه ابن حبان. صحيح(
حدّثنا قُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ . حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنِ ابْنِ الْهَادِ عَنْ سَعْدٍ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ
أَنَّ رَسُولَ اللّهِ قَالَ: «مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ» قَالُوا:
يَا رَسُولَ اللّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: «نَعَمْ. يَسُبُّ
أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ . وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ». (رواه
ابن حبان. مسلم(
َلِلّهِ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران: 129(
(Referensi: Al-Hawi al-Kabir, XIV/330, Risalah
al-Qusyairiyah, I/103, Ihya ‘Ulum ad-Din, II/212, dan al-Majalis as-Saniyyah,
87).
Post a Comment for "Rumusan dan Keputusan Final Para Kiai NU Jatim tentang Islam Nusantara"