Kiai Desa Kelas Dunia, Tampilan Sederhana Namun Ilmunya Luar Biasa
“Kamus Berjalan”
Indonesia tak
kekurangan ulama yang memiliki karya luar biasa dan diakui dunia. Di setiap
dekade, selalu ada ulama yang muncul dan menjadi bintang zaman meskipun di
balik layar. Salah satunya, Kiai Abul Fadhol Senori.
Sewaktu
hidup, namanya tidak terlalu dikenal, namun sepeninggalnya, namanya melambung
tinggi. Seiring dengan dipakainya kitab-kitab karya tulisnya sebagai kurikulum
dasar di seluruh pesantren NU di Indonesia.
Tatkala
membaca kitab karyanya, para ulama akan terpukau dengan keindahan sastra, susunan
kata, serta gaya bahasa yang mudah dicerna. Seolah-olah karya itu ditulis oleh
ulama besar berkebangsaan Arab asli. Padahal, Kiai Abul Fadhol Senori sama
sekali belum pernah belajar di tanah Arab.
Ahmad Abul
Fadhol lahir tahun 1921 M di Sedan Rembang Jawa Tengah dari pasangan KH. Abdus
Syakur bin Muhsin bin Saman bin Mbah Serut dan Nyai Sumiah binti Kiai Ibrahim.
Kiai Abdus Syakur adalah ulama yang ternama karena kecerdasannya.
Beliau pernah
belajar kepada Syaikh Kafrawi Tuban,
setelah itu melanjutkan rihlah ilmiahnya ke Haramain, berguru kepada
Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abu Bakar Syata, Syekh Zaini Dahlan dan lainnya.
Sepulangnya dari Haramain beliau berguru pada Kiai Sholeh Darat di Semarang.
Bekal kelimuan inilah yang menjadikan pondok KH. Abdus Syakur banyak diminati
santri untuk belajar agama.
Kiai Abdus
Syakur memiliki strategi pengajaran yang efektif dan sangat tegas. Yakni
kewajiban seluruh santri menulis ulang materi belajar yang sudah
disampaikannya. Kiai Abdus Syakur menerapkan metode hafalan serta menulis kitab
atau memberi makna pada kitab kepada santri-santrinya. Hal ini berlaku pula
bagi Fadhol yang ikut-ikutan ngaji meski masih sangat kecil.
Alhasil para
santri Kiai Syakur memiliki penguasaan kitab yang detail dan mendalam.
Pendidikan yang diterapkan Kiai Abdus Syakur kepada putranya mempengaruhi dalam
proses belajar. Kiai Abdus Syakur sangat ketat sekali dalam memantau putranya dalam belajar agama. Sehingga Kiai
Abul Fadhol Senori lebih cepat dalam memahami berbagai disiplin ilmu dan cepat
dalam menghafal.
Proses
Belajar
Fadhol kecil
memiliki tingkah laku yang njengkeli. Tingkah polahnya begitu liar, usil, dan
menggemaskan. Tiap ada tamu yang hadir, minuman dan makanan yang disuguhkan
pasti sudah dicicipi satu-satu oleh Fadhol. Para tamu yang hadir, kebanyakan
orang sholeh, santri dan kiai, malah senang dan mendoakan Fadhol kelak menjadi
ulama besar.
Benar saja,
usia 6 tahun sudah mahir membuat syiir Arab tanpa belajar. Sambil bermain di
pinggir sungai, ia melantunkan syiir karangannya sendiri. Pada usia 9 tahun, ia
sudah hafal Alquran di luar kepala dalam tempo 2 bulan. Padahal rata-rata
menghafal Alquran membutuhkan waktu 3-5 tahun.
Fadhol
memiliki hafalan yang sangat tajam, 15 juz yang awal dihafal dalam tempo satu
bulan, setiap satu juz dibaca 3 kali dalam satu kali duduk dan langsung hafal.
Lalu 15 juz yang akhir juga ditempuh satu bulan dengan metode setengah juz
dibaca 3 kali dan langsung hafal. Sewaktu kecil ia seringkali bermain di depan
pemukiman Belanda dan dari situ pula ia belajar bahasa Belanda secara otodidak
dan mahir berbicara bahasa asing itu.
Fadhol
memulai belajar kitab kuning sejak kecil, ia bahkan diwajibkan menghafal
beberapa kitab di antaranya Aqidatul al-Awwam, Nadzam Ibnu ‘Imad, Tarsyikh,
Maqshud, al-Imrithi, al-Fiyah Ibn Malik, al-Jurumiyah, Jauharul al-Maknun,
Uqudu al-Juman dan Nadzam Jam’u al-Jawami’.
Di usia 11
tahun Fadhol sudah mampu mengajar sekaligus menulis kitab. Ketika khatam Uqudul
Juman, gaya dan tata bahasa karangan beliau menjadi penuh warna dan bernilai
sastra tinggi.
Pada usia itu
pula, setelah abahnya selesai membaca kitab bersama para santri, Fadhol
ikut-ikutan membaca kitab yang sama sambil menerangkan isinya. Ajaib,
keterangan yang disampaikan Fadhol kala itu persis seperti keterangan yang disampaikan
abah sebelumnya.
Pernah suatu
ketika sang abah menjelaskan makna suatu syair Arab yang sulit kepada para
tamu, namun para tamu nampak kesusahan menangkap penjelasan Kiai Syakur dan
seketika itu Fadhol turut memberi penjelasan yang runut dan jelas sehingga pada
akhirnya mereka paham. Itulah bukti ketajaman ingatan dan kecerdasan Fadhol
yang di atas rata-rata dan diakui oleh khalayak.
Semangat Kiai
Abul Fadhol dalam belajar sangat besar. Setelah sang abah wafat, ia meneruskan
rihlah ilmiahnya ke Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh Hadrotussyekh
Hasyim Asy’ari.
Dalam waktu
satu tahun, Kiai Hasyim Asy’ari menganggap Kiai Abul Fadhol sudah menguasai
ilmunya dengan baik, diberikanlah ijazah sanad periwayatan Hadits seperti
Shahih Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan Kiai Hasyim Asy’ari dari Syekh
Mahfudz at-Termasi.
Keseharian
dan Wirid
Dalam
keseharian, Kiai Fadhol hidup dalam kesederhanaan dan kezuhudan. Ia sangat
tertib dalam menjaga salat wajib di awal waktu dan berjamaah. Kiai Fadhol juga
dalam keseharian berpenampilan biasa saja. Orang awam yang belum kenal pasti
tak mengira Kiai Fadhol adalah sosok ulama besar.
Pakaian yang
dikenakan seadanya asalkan bersih, suci, dan menutup aurat. Saking
sederhananya, ketika takziah kewafatan
KH. Zuber Sarang, Kiai fadhol hadir di tengah jamaah tanpa ada yang tahu
bahwa ia adalah sosok ulama besar. Tak ayal, beliau sempat dicueki atau tidak
dihormati oleh orang karena songkok hitam yang dipakai tidak lagi hitam tapi
telah berubah warna menjadi merah.
Baju yang
dikenakan lusuh, hingga orang acuh memandangnya. Orang-orang baru tahu kalau
itu adalah Kiai Fadhol yang sangat terkenal . Setelah Mbah Maimun Zubair
memergokinya di tengah jalan, seketika
KH. Maimun langsung menciumi tangan beliau dan menempatkannya pada
tempat yang layak.
Kiai Fadhol
memiliki wirid rutin yakni mengkhatamkan Alquran 2 kali dalam sehari atau 60
kali dalam sebulan dengan hafalan. Dan satu wirid lagi, yakni membaca kitab
besar sampai khatam dalam 10 hari. Kiai Fadhol bahkan dinilai hafal isi
kitab-kitab tersebut. Buktinya, bila ada persoalan, Kiai Fadhol mampu
menunjukkan jawaban disertai ta’birnya, seolah-olah tidak ada masalah yang
musykil apalagi mauquf.
Kiai Fadhol
sering dijuluki dengan gelar ‘Kamus Berjalan’ karena saking banyaknya
penguasaan literatur kitab kuning yang dihafalnya. Ia sangat telaten dan piawai
menggunakan bahasa yang mengena dan menyentuh hati dalam menyampaikan materi
khutbah atau ceramah agama. Sehingga tak jarang jamaah dan santri menangis
tersedu saat mendengarnya.
Pekerjaan
Kiai Fadhol
sama seperti warga lainnya yang berkewajiban memberikan nafkah pada keluarga,
anak dan istrinya. Di tengah kewajiban mengajar santri, Kiai Fadhol menyisihkan
waktu bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Berbagai
pekerjaan yang pernah ditekuni adalah sebagai penjahit, berjualan benang dan
kain, membuka toko servis jam, reparasi sepeda pancal dan motor, servis
barang-barang elektronik, sewa becak, mendirikan pabrik rokok dan lain
sebagainya.
Anehnya,
ketika usaha tersebut sudah mulai berkembang maju, Kiai seketika
meninggalkannya dan diserahkan kepada pegawai-pegawainya. Sementara itu Kiai
Fadhol ganti pekerjaan lainnya mulai dari nol. Hal ini menunjukkan kepribadian
Kiai Fadhol yang tak tergiur dengan kenikmatan dunia, tujuan bekerja hanya
diniati beribadah bukan menumpuk harta.
Baginya,
segala sesuatu mesti diniati ibadah dan memberi nafkah anak-istri dan keluarga
hingga membantu perekonomian masyarakat dari hasil berbagai usahanya adalah ibadah
yang besar nilainya.
Karya Tulis
Kiai Fadhol
sejatinya memiliki puluhan bahkan ratusan karya tulis, karena beliau tekun
menyisihkan waktu untuk menelaah dan menulis bahkan sejak usia remaja. Namun
sayangnya, banyak sekali karya beliau yang tidak terdokumentasikan dengan baik
karena sebagian besarnya hanyut diterjang banjir besar tahun 1971. Sedang
sebagian lainnya tersebar dan dibawa oleh murid-muridnya dari berbagai daerah,
sehingga sulit untuk dilacak hingga sekarang.
Di antara
karya tulis Mbah Fadhol yang sudah dicetak dan bisa kita temui di pasaran
adalah: Tashilul Masalik Syarah Alfiah Ibnu Malik; Kasfyfut Tabarih fi Shalatit
Tarawih; Ahli Musamarah fi Bayani Auli’il Asyrah; Durrul Farid fil ‘Ilmit
Tauhid; al-Lamma’ah fi Tahqiq al-Musamma bi Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Hal demikian
karena Kiai Fadhol dalam pengajarannya seringkali menyusun materi pelajaran
yang komplit baik berbentuk nastar maupun nadzam, lalu setelah khatam, catatan
tersebut diberikan kepada para santri yang mengaji.
Contohnya
Nadzam Bahjatul Hawi dan Nadzam Jam’ul Jawami’ yang masih disimpan santrinya.
Semasa hidup ,tak banyak yang tahu dan sempat menjadi santri Kiai Fadhol.
Mereka yang pernah belajar dari Kiai Fadhol kelak menjadi ulama besar, di
antaranya adalah Mbah Kiai Abdullah Faqih Langitan, Mbah Kiai Maimoen Zubair,
Mbah Dimyati Rois Kendal, dan Kiai Hasyim Muzadi.
Wafat
Kiai Abul
Fadhol meninggal pada tahun 1989 M dan dimakamkan di Senori Tuban Jawa Timur.
Hingga usia senjanya, Kiai Fadhol masih menjaga rutinitasnya seperti hidup
zuhud, melakukan wirid, maupun mengajar santri sekaligus menulis kitab. Di
akhir usianya, Kiai Fadhol ditemani sahabatnya, yaitu Mbah Hasan Mangli.
Kiai Fadhol
memang kurang populer, namanya besar justru setelah beliau meninggal. Namanya
berkibar seiring dibacanya kitab-kitab beliau di pesantren-pesantren. Namanya
bahkan disejajarkan dengan ulama muallif besar lainnya, seperti Syekh Ihsan
Jampes pemilik Sirajut Thalibin maupun Syekh Mahfudz Tremas pemilik Manhaj
Dzawin Nadzar.
Bahkan, Kiai
Dimyati ulama ahli Alquran dan tasawuf asal Banten merasa menyesal kenapa
selama hidupnya tak pernah mendengar dan bertemu Kiai Fadhol setelah membaca
kitab karyanya. Kiai Dimyati pun berkomentar bahwa tulisan Kiai Fadhol memiliki
nilai sastra yang indah, pengetahuan agama yang luas, dan gaya tutur yang mudah
dipahami.
Di sisi
lain, Mbah Moen kerap memuji sang guru
ketika mengaji ataupun dalam tausiyah-tausiyah beliau.
“Ojo isin
dadi wong jowo, delok toh Mbah Fadhol Senori. Ora tahu ngaji ning arab, tapi
geneyo koq iso ‘alim ngalahno sing ning Arab. Alime koyok ngono, karangane
kitab pirang-pirang.” (Jangan malu menjadi orang Jawa, lihatlah Mbah Fadhol,
beliau tidak pernah sekalipun belajar di Arab, tapi kealimannya mengalahkan
yang belajar di Arab. Betapa alimnya beliau, karangan kitab beliau pun sangat
banyak.)
Sumber:
KH. A. Aziz
Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia, Jakarta: Keira,
Foto: Mbah
Fadlol, Mbah Fadlol bersama Mbah Moen.
Post a Comment for "Kiai Desa Kelas Dunia, Tampilan Sederhana Namun Ilmunya Luar Biasa"