Teguran KH. Hasyim Asy’ari Kepada Menantunya Yang Ahli Falak
Pondok pesantren telah banyak melahirkan ulama ahli falak
yang dapat menghitung masa setiap tahunnya melalui hisab maupun rukyat.
Beberapa literatur kitab kuning yang membahas detail tentang
ilmu falak juga dipelajari di pesantren. Bahkan di perguruan tinggi.
Namun, meskipun mempunyai kepakaran dalam ilmu perhitungan
bulan dan matahari, ulama NU dalam wadah Lembaga Falakiyah (hari lahir 1
Februari) tidak pernah menganggap hasil hisab dan rukyatnya sebagai sebuah
keputusan, melainkan kabar (ikhbar). Karena wilayah keputusan ada di tangan
pemerintah yang sah.
Terkait ikhbar tersebut, salah seorang ulama ahli falak, KH
Ahmad Ghazalie Masroeri pernah menceritakan kepada Abdul Mun’im DZ.
KH Hasyim Asy’ari melakukan teguran terhadap menantunya
perihal hasil hisab dan rukyat yang diumumkan tanpa melalui pemerintah.
KH Ma'sum Ali Jombang, seorang ahli falak yang juga menulis
kitab tentang falak. Sudah menjadi kelaziman bagi ahli falak untuk melakukan
puasa dan lebaran sesuai hasil hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat
(observasi/melihat hilal)-nya sendiri.
Pada suatu hari sesuai dengan hasil perhitungannya, Kiai
Ma'sum Ali memutuskan untuk ber-Idul Fitri sendiri yang ditandai dengan menabuh
bedug bertalu-talu. Mendengar keriuhan itu, sang mertua, Hadhratussyekh KH
Hasyim Asy’ari kaget.
Setelah tahu duduk perkaranya, ia menegur, “Hei, bagaimana
kau ini, belum saatnya lebaran kok bedugan duluan?” Mendapat teguran dari
mertuanya itu, Kiai Maksum segera menjawab dengan tawadhu (hormat).
“Inggih (iya) romo kiai, saya melaksanakan Idul Fitri sesuai
dengan hasil hisab yang saya yakini ketepatannya.”
“Soal keyakinan ya keyakinan, itu boleh dilaksanakan. Tetapi
jangan woro-woro (diumumkan dalam bentuk tabuh bedug) mengajak tetangga
segala,” jelas Kiai Hasyim Asy’ari.
“Tetapi bukankah pengetahuan ini harus di-ikhbar-kan
(dikabarkan), Romo?” tanya Kiai Maksum.
“Soal keyakinan itu hanya bisa dipakai untuk diri sendiri,
dan tabuh bedug itu artinya sudah mengajak dan mengumumkan kepada masyarakat,
itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan kepastian Idul Fitri itu haknya pemerintah
yang sah,” tutur Kiai Hasyim.
“Inggih Romo,” jawab Kiai Maksum setelah menyadari
kekhilafannya.
Abdul Mun’im (2017) mencatat, pendirian Kiai Hasyim Asy’ari
itu kemudian ditetapkan secara formal dalam Munas Alim Ulama NU di Cipanas,
Bogor tahun 1954, bahwa hak itsbat diserahkan kepada pemerintah sebagai waliyul
amri.
Sedangkan para ulama NU hanya membantu melakukan ikhbar, baik
kepada pemerintah maupun kepada masyarakat setelah diumumkan oleh pemerintah.
Ini sebagai konsekuensi bagi NU dalam bernegara, yakni menyerahkan sebagian
kewenangannya pada pemerintah yang sah.
Di situlah para ulama pesantren berupaya mempraktikkan ajaran
dan hukum agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena walau
bagaimana pun, ulama sebagai warga negara punya kewajiban menaati ulil amri.
Namun demikian, ulama juga mempunyai peran penting dalam mengingatkan dan
mengkritik kebijakan penguasa yang mengabaikan kepentingan rakyat.
Di antara ulama falak dari pesantren ialah KHR Ahmad Dahlan
Al-Falaki Al Tarmasi (adik kandung Syekh Mahfuzh al-Tarmasi), KH Turaichan
Adjhuri Asy-Syarofi Kudus, KH Ma’sum Ali Jombang, KHR Ma’mun Nawawi
Cibogo-Cibarusah Bekasi, KH Zubair Umar Salatiga, KH Misbachul Munir Magelang,
KH Ahmad Ghazalie Masroeri, KH Muhammad Manshur atau Guru Manshur Jakarta, KH
Noor Ahmad, KH Ghozali Muhammad, dan lainnya.
Sumber: NU Online
Post a Comment for "Teguran KH. Hasyim Asy’ari Kepada Menantunya Yang Ahli Falak"