Mengupas Hakekat Maulid Dalam Obrolan 10 Menit
Baru saja Pak Kamsud mencuci tangannya karena kotor setelah
menanam kangkung di kebun belakang rumahnya, tiba-tiba ponsel miliknya
berdering dengan nada klasik Nokia Tune. Pak Kamsud pun melihat layar hp-nya
yang masih Monokrom itu dan terlihat sebuah nomor luar negeri tak dikenal
tengah memanggil. Tak pikir panjang, Pak Kamsud lalu mengangkatnya. Seketika,
terdengarlah suara ceria dari balik telepon;
"Assalamu'alaikum Pak Kamsud, gimana kabarnya?"
"Wa'alaikum salam, Alhamdulillah baik. Maaf, ini dengan
siapa?"
"Waah.. Pak Kamsud ini gimana tho, sudah lupa sama suara
saya? Ini Zaglul pak, tetangga bapak dulu, sekarang saya tinggal di Kuala
Lumpur ngembangin bisnis saya."
"Oh.. Pak Zaglul rupanya.. Gimana kabarnya pak? Terakhir
nelpon saya dulu njenengan kan masih di Banjarmasin, lha koq sekarang udah di
Malaysia aja, pantesan nomornya belom ke-save di hp saya. Gimana kabar keluarga
pak? Bisnisnya gimana? Karyawannya udah berapa sekarang?"
"Alhamdulillah Pak Kamsud, kami semuanya sehat, bisnis
lancar, karyawan saya sekarang sudah 47 orang pak. Alhamdulillah, berkat doa
Pak Kamsud juga."
"Wah wah.. hebat sekali sampeyan ini, saya turut senang
mendengarnya."
"Oiya Pak, ini saya sengaja nelpon karena mau Curhat
sama Pak Kamsud. Ganggu gak kira-kira?"
"Halah, njenengan ini koq kaya anak muda aja, pake
Curhat-curhatan segala. Ada apa emangnya pak Zaglul?"
"Ini lho, bulan ini saya sebenarnya berinisiatif
ngajakin karyawan saya untuk ngadain acara Maulidan, tapi ada yang bilang,
katanya Maulidan itu amalan Bid'ah karena Nabi gak pernah melakukannya?"
"Oh.. begitu. Sebenarnya perlu diketahui dulu Pak, bahwa
suatu perkara yang tidak dilakukan Nabi itu tidak dapat melahirkan sebuah hukum
tertentu. Misalkan Nabi tidak minum kopi, ini jangan lantas dihukumi bahwa kopi
itu Makruh atau Haram. Lagian, kalo suatu perkara itu dikategorikan sebagai
Bid'ah hanya gara-gara Nabi tidak pernah melakukannya, maka akan banyak sekali
perkara yang tidak pernah dilakukan Nabi tapi kita melakukannya sampai
sekarang; seperti mencetak Al-Qur'an dalam sebuah Mushaf, ini tidak pernah
dilakukan oleh Nabi, tapi Abu Bakar mengawalinya. Demikian juga Umar bin
Khattab memisahkan antara Maqam Ibrahim dengan Ka'bah, padahal dulu di masa
Nabi, Maqam Ibrahim itu nempel ke Ka'bah, lha wong namanya aja Maqam itu kan
artinya tempat pijakan Nabi Ibrahim buat bangun Ka'bah, ya pasti nempel lah.
Terus juga Utsman ibn Affan menambah jumlah adzan shalat Jum'at menjadi dua
kali. Itu semua tidak dilakukan oleh Nabi tapi tidak ada yang
mengkiarinya."
"Ya berbeda lah Pak Kamsud kalo disamakan ke Khulafa
Rasyidin, Nabi sendiri kan sudah berpesan; "Hendaknya kalian mengikuti
sunnahku dan sunnah Khulafa' Rasyidin setelahku", itu hadits Nabi lho,
yang menunjukkan bahwa Khulafa Rasyidin itu mendapat Tazkiyah langsung dari
Nabi."
"Jadi begini Pak Zaglul, dalam hadits yang bapak
sampaikan tadi disebutkan kata "Sunnahku" dan "Sunnah Khulafa
Rasyidin". Ini meskipun keduanya sama-sama menggunakan kata "Sunnah",
tapi memiliki arti yang berbeda. Sama seperti dalam surat Al-Ahzab ayat 56 yang
Menyebutkan bahwa Allah, Malaikat dan kaum Mukminin bershalawat kepada Nabi,
ini meskipun sama-sama menggunakan kata "Shalawat" tapi yang pertama
artinya Ridha, yang kedua Doa dan yang ketiga adalah Penghormatan. Demikian
juga kata "Sunnah", jika disandingkan kepada Nabi itu artinya Wahyu
Ilahi yang sifatnya maksum. Tapi kalo disandingkan kepada Khulafa Rasyidin itu
artinya adalah Ijtihad mereka dalam memahami Nash Al-Qur'an ataupun Sunnah yang
sifatnya Ijtihady. Jadi legalitas dan Tazkiyah yang diberikan Nabi kepada
Khulafa Rasyidin itu adalah Tazkiyah kepada mereka sebagai "Pemimpin Umat
Islam" dan bukan sebagai "Nabi Islam" atau "Utusan Tuhan",
karena tiada seorang pun yang mendapatkan Wahyu setelah Nabi."
"Ya tapi tetep aja lah Pak Kamsud, kalo seandainya
Maulidan itu adalah perkara yang baik, pasti para Sahabat dan Salafus Shalih
telah mendahului kita dalam mengamalkannya."
"Pak Zaglul, saya kurang tahu kaidah yang sampeyan
sampaikan itu kaidah apa? Saya belum pernah mendapatkannya di Turats
kitab-kitab Qawaid Fiqhiyah maupun di kitab-kitab Ushul Fikih. Selain itu,
kaedah tersebut terbangun dari asumsi "Kalo seandainya". Kata
"Kalau" ini saja sudah lemah dan sifatnya Wahm, apalagi ditambah
dengan "Seandainya" yang itu sifatnya spekulatif, lha koq bisa
dijadikan kaedah untuk menyimpulkan sebuah hukum? Padahal dalam Fikih, kita ini
beribadah dengan dalil yang sifatnya Dzann atau Qath'iy, bukan dalil "Kalau
seandainya, Seandainya saja". Selain itu, coba kita terapkan kaedah
tersebut kepada permasalahan yang tidak dilakukan oleh para Sahabat tapi masih
kita amalkan sampai sekarang; seperti Khutbah pakai bahasa Indonesia, bayar
Zakat Fitrah pakai uang kertas, Mengkhatamkan 30 juz dalam jama'ah Tarawih di
Masjidil Haram selama sebulan, Melempar Jumrah Sughra, Wustha dan Aqabah di
lantai dua, tiga bahkan empat. Semua perkara tersebut tidak pernah dilakukan
oleh para sahabat bukan karena tidak baik, tapi itu semua karena kondisi zaman
yang berbeda. Dan perlu dicatat, contoh yang saya katakan tadi semuanya masuk
ke dalam relung sebuah ibadah, jadi jangan ngeles kalo itu sekedar Bid'ah dari
segi bahasa atau adat-istiadat saja."
"Tapi bagaimanapun juga, Rasul kan tidak butuh Hari
Kelahiran beliau diperingati. Justru Rasul lebih suka jika sunnah-sunnah beliau
diamalkan?"
"Pak Zaglul.. Pak Zaglul.. sampeyan ini sekarang udah
mirip penganut madzhab "Mana yang lebih baik; pemimpin kafir tapi tidak
korupsi atau pemimpin muslim tapi korupsi?" sukanya menggunakan logika
pembenturan fakta yang sejatinya bisa harmonis dan dapat berjalan berdampingan.
Mengadakan Maulid itu sama sekali tidak menghalangi kita untuk tetap bisa
menjalankan Sunnah Nabi, sehingga meskipun Maulidan, tapi kita tetep bisa puasa
Senin-Kamis, Shalat Tahajjud, Shalat Dhuha, dan Sunnah-sunnah lainnya. Sama
halnya dengan memilih seorang pemimpin, fakta di lapangan kita temukan banyak
Pemimpin Muslim yang Saleh dan tidak korupsi, lha koq kita dipaksa untuk
memilih pemimpin kafir yang koruptor pula, ini kan logika Wagu dan Mekso
namanya Pak. Selain itu, jika kita temukan orang Maulidan tapi masih suka lalai
dengan Sunnah lainya, maka jangan salahkan Maulidnya, tapi salahkan orangnya.
Sama halnya dengan orang yang rajin shalat tapi masih juga korupsi, jangan
salahkan shalatnya, tapi salahkan koruptornya!"
"Hmm.. Jadi sebenarnya hakekat Maulid itu gimana sih
pak? Koq ada yang mengatakan itu bid'ah, ada pula yang mengatakan itu ibadah,
yang bener yang mana ini? Saya jadi bingung."
"Jadi begini Pak Zaglul, substansi dari Maulid itu jika
kita observasi di lapangan, sebenarnya ia menghimpun beberapa amalan yang
apabila ia berdiri sendiri, maka itu tidak menjadi masalah. Seperti Membaca
Al-Qur'an, membacakan syair-syair Madah kepada Nabi, Membaca Shalawat, Ceramah,
Taushiyah, Doa dan Kajian Sirah Nabawi, ini semua secara eksistensi sudah ada
semenjak zaman Nabi, hanya saja ketika "Racikan" amalan tersebut
berkumpul menjadi satu, dalam sebuah tempat tertentu, kemudian diberi Label
"Peringatan Maulid Nabi", maka sebagian orang yang kaku akan
menyangka ini adalah Bid'ah dan perkara baru, padahal "Merk"-nya saja
yang baru, bukan substansinya. Itu artinya, jika njenengan misalkan menggelar acara
dengan tajuk "Halaqah Sirah Nabi" lalu di dalamnya terdapat konten
yang sama persis dengan Maulidan; mulai dari Tilawah sampai Syair Madah, maka
njenengan tidak akan dianggap sebagai Ahli Bid'ah oleh kaum saklek itu, karena
njenengan akan dikategorikan sedang mengadakan Majelis Ilmu oleh mereka dan
bukan Majlis Kemungkaran. Jadi sebenarnya, konsep Maulidan ini sejatinya
seperti sebuah Konferensi, Muktamar, Simposium, Seminar, Haflah, atau apalah
terserah. Sama persis kaya yang diadain oleh masyarakat dimana-mana. Lha wong
PBB, ASEAN, UNI Eropa, bahkan BEM dan OSIS aja punya rapat tahunan yang digelar
secara rutin, masa' kita yang juga dalam setahun sekali cuman mau kumpul
bareng-bareng ngadain "Konferensi Kebahagiaan" koq dikait-kaitin sama
Bid'ah? Lha kan aneh ini namanya."
"Tapi kan kalo organisasi udah jelas Pak Kamsud, itu
urusan duniawi, kalo Maulid kan beda, karena Maulidan itu sama saja dengan
menciptakan amalan ibadah baru, dan berinovasi dalam ibadah itu kan dilarang,
selain itu Nabi kan sudah menetapkan bahwa Hari Raya umat Islam itu cuma Idul
Fitri sama Idul Adha Saja!"
"Yang bilang kalo Maulid itu hari raya umat Islam, siapa
Pak Zaglul? Apakah penyelenggara Maulidan itu pernah sepakat mengadakannya
dalam tanggal tertentu; 12 Rabi'ul Awal misalkan? Apakah mereka menetapkan
rukun-rukun Maulid, Semisal harus ada ritual-ritual tertentu di dalamnya? Coba
lihat ibadah dalam Islam, pasti akan selalu ada Niat, Syarat, Rukun yang
mengaturnya. Jadi Maulid ini bukanlah Ibadah Mahdhah Pak Zaglul, kalaupun ada
yang mengatakan Maulid itu ibadah, maka seperti yang saya bilang tadi, ibadah
jika dilihat dari Komposisi yang terdapat di dalamnya; seperti Membaca
Al-Qur'an dan Mendengarkannya, atau Taushiyah Agama dan Ceramah Sirah Nabi, itu
semua secara substansi sudah ada semenjak zaman Salaf."
"Okelah Pak Kamsud kalo gitu, saya sudah mantap
sekarang. Oiya, ini yang terakhir, saya sebenarnya juga mau ngundang njenengan
sama ibu ke tempat saya di Kuala Lumpur sekalian buat ngisi acara Maulid kali
ini, Insya Allah acaranya dua minggu lagi, masalah tiket PP saya yang tanggung,
sekalian temu kangen dan banyak hal yang mau saya Curhatkan ke njenengan.
Gimana pak?"
"Waduh pak Zaglul, terimakasih sekali atas undangannya,
tapi saya harus minta maaf ke njenengan karena gak bisa dateng, sebab tabrakan
dengan acara Maulidan di kampung. Apalagi saya udah dua tahun lebih gak ikut
Maulidan. Hehe.."
"Oh.. begitu, ya udah kalo Pak Kamsud gak bisa tahun
ini, berarti saya undang njenengan untuk Maulid tahun depan. Jangan menghindar
ya, ini saya udah pesen jauh-jauh hari lho.."
"Insya Allah Pak Zaglul, jika usia masih ada. Tapi saya
kalo bikin acara Maulid gak sembarangan lho Pak, ada beberapa ketentuan umum
yang harus dipatuhi: Pertama, jika acaranya dihadiri lelaki dan perempuan, maka
ruangannya harus terpisah. Kedua, jika waktu shalat tiba, maka acara harus
dipending dan semua hadirin harus shalat jama'ah terlebih dahulu. Ketiga,
jangan sampai Maulidan digelar terlalu larut malam, karena itu waktu istirahat.
Keempat jangan sampai di dalam acara Maulid diiringi perkara-perkara munkar
seperti minuman keras dan sebagainya. Dan yang terakhir, jangan sampai ada satu
pun hadirin yang merokok, saya gak peduli hukum merokok itu Haram atau Makruh,
tapi merokok di saat "Kelahiran" Kanjeng Nabi itu merupakan egoisme
sekaligus penghinaan yang tidak bisa saya terima. Adapun susunan acaranya bagi
saya bebas, yang penting tidak keluar dari koridor Syariat dan tetap menjunjung
Spirit Akhlak Rasul. Itu saja cukup."
"Baik Pak Kamsud.. akan saya catat baik-baik, sekaligus
akan saya terapkan untuk acara Maulid tahun ini. Begitu dulu ya Pak, Insya
Allah nanti kita sambung lagi lain waktu. Semoga Allah dapat mempertemukan kita
di kesempatan yang akan datang. Assalamu'alaikum.."
"Amiin.. amiin.. Wa'alaikum salam Wa Rahmatullahi Wa
Barakatuh.."
** Sumber: Cerita ini ditulis oleh ustadz Yusuf Al-Amien
Post a Comment for "Mengupas Hakekat Maulid Dalam Obrolan 10 Menit "