BEN ANDERSON, PESANTREN, DAN NU
Oleh: Mas Hairus Salim Hs
Apa hubungan Ben Anderson dengan pesantren dan NU? Jawab
sepintas mungkin tak ada. Yang pasti ia bukan bagian dari deretan para
indonesianis yang mengkaji secara khusus pesantren dan NU. Kendati demikian,
jika kita membaca dan menelusuri beberapa karyanya secara teliti, akan segera
terurai di sana suatu benang halus dan putih yang menautkannya ‘secara
platonik’ dengan pesantren dan NU.
Pada tahun 1976, dalam sebuah konferensi tentang arah dan
perkembangan kajian Indonesia, Ben mengkritik sedikitnya –atau terabaikannya–
kajian mengenai pesantren dan NU. Pengabaian ini sendiri terjadi karena
menurutnya ada“prasangka-prasangka ilmiah” di dalam banyak kajian mengenai
Indonesia. Sejak tahun 1950an, kajian mengenai Indonesia memang lebih banyak
dipengaruhi oleh teori modernisasi. Dalam lansekap kajian itu, pesantren dan NU
–seperti umumnya unsur tradisi di dalam masyarakat—dipandang sebagai suatu
unsur yang tidak mendukung, bahkan dalam banyak hal dianggap menghambat,
modernisasi.
Tak aneh karena itu, sejak 1950an hingga setidaknya awal
1980an, amat langka kajian setingkat disertasi mengenai pesantren dan NU.
Kajian-kajian yang ada lebih banyak memberikan perhatian pada gerakan-gerakan
modern, dan pesantren dan NU, disebut biasanya secara sambil lalu, dengan nada
yang pejoratif, nyinyir dan merendahkan. Kecenderungan ini bisa ditemukan
dengan mudah dalam karya-karya Clifford Geertz, Allan Samson, Lance Castles dan
lain-lain. Greg Fealy (2003) menyebut kecenderungan akademis ini sebagai
“wacana yang didominasi modernis”.
Namun sejak 1980an, kecenderungan ini mulai mengalami
pergeseran. Pesantren dan NU –sebenarnya juga unsur tradisi lainnya di dalam
masyarakat- mulai memperoleh perhatian ilmiah yang memadai, baik dari pengamat
Indonesia maupun dari kalangan sarjana Indonesia sendiri. Pergeseran ini
diilhami, secara langsung maupun tidak langsung, saya kira, oleh kritik dan
seruan Ben Anderson tersebut, yang kemudian diterbitkan sebagai “Religion and
Politics in Indonesia since Independence” (1977). Kutipan karya Ben Anderson
ini, misal dari Martin van Bruinessen dan Greg Fealy, yang masing-masing
menulis kajian tentang NU yang bisa dikatakan ‘terbaik’ hingga kini,
menunjukkan dengan jelas pengaruh kritik Ben Anderson ini.
Tentu saja pergeseran itu terjadi karena saat itu memang
muncul kebosanan dan kejenuhan pada dominasi modernisasi di kalangan ilmuwan
sosial. Di lain pihak, berbeda dengan tesis-tesis yang dikembangkan sebelumnya
mengenai NU, pada tahun 1970an dan 1980an itu, NU muncul sebagai kekuatan
oposan Orde Baru yang penting dan keras. Seruan Ben Anderson pun seperti
menemukan gemanya. Sejak itu, mengalir deras kajian mengenai pesantren dan NU,
baik dari luar maupun dari dalam negeri, suatu yang disebut Greg Fealy sebagai
‘wacana yang lebih menghormati tradisi.’
benNamun sebenarnya, jauh sebelum itu, Ben Anderson sudah
memiliki simpati yang mendalam pada pesantren dan NU.Dalam karyanya Java in
Time of Revolution, Occupation and Resistance 1942-1946 (1972), yang
diterjemahkan dengan memikat dan pas menjadi Revoloesi Pemoeda: Pendudukan
Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1988), ia mendedahbesarnya peranan
pesantren dan NU di dalam revolusi.Tak aneh jika Martin van Bruinessen menyebut
karya Ben ini sebagai ‘suatu pengecualian’ dari karya-karya akademis tentang
Indonesia sepanjang tahun 1930an hingga 1970an yang kebanyakan diwarnai ‘bias
modern’.
Karya Ben ini sendiri sebenarnya merupakan kritik terhadap
karya George Mc Turnan Kahin (1952) yang lebih banyak menonjolkan peran Sjahrir
dan lingkarannya dalam revolusi Indonesia. Berbeda dengan Kahin, Ben
menunjukkan peran yang jauh lebih besar kalangan rakyat yang tergabung dalam
banyak barisan pemuda, yang tak pernah bisa dikontrol oleh tokoh-tokoh pusat
seperti Sjahrir, bahkan Hatta maupun Sukarno sekalipun. Kalangan rakyat dan
pemuda ini memang dekat dengan Tan Malaka, terutama karena ikatan hasrat
“Merdeka 100%” yang dikumandangkannya,tapi pengelompokannya sebenarnya sangat
luas dan beragam. Salah satunya adalah kalangan pesantren.
Dalam bagian mengenai “Kebangkitan Pemuda”, Ben menyebut
bagaimana seruan pemuda Soetomo, yang kemudian populer sebagai ‘Bung Tomo”,
yang selalu dimulai dengan pekik “Allahu Akbar” berhasil menyedot ribuan
kalangan pemimpin ‘merah’ di kalangan santri di Surabaya, daerah dataran dan
pantai Jawa Timur, dan Madura untuk bergabung dalam gerakan revolusi. Dari
desa-desa yang terpencil mereka bergerak ke kota pelabuhan, Surabaya. Lalu
puncaknya atau bisa jadi merupakan awalnya, pada tanggal 21-22 Oktober, NU Se-Jawa
dan Bali berkumpul dalam sebuah rapat raksasa di Surabaya, yang di antaranya
mengeluarkan apa yang dikenal sebagai “Resolusi Jihad”. Maka, kata Ben, dengan
pelukisannya yang khas, mendalam dan penuh simpati, makin matanglah sudah suatu
revolusi yang digerakkan oleh para pemuda. Suatu gerakan yang mempengaruhi
revolusi di tingkat nasional.
Sependek pengetahuanku, penyebutan Ben atas “Resolusi Jihad”
dan sekaligus pentingnya peranan pesantren dan NU dalam revolusi itu, merupakan
pengakuan akademis pertama yang sangat penting dan berpengaruh. Bandingkan
misalnya dengan kajian Kahin yang tak menyinggung pesantren dan NU (dan pemuda
rakyat lainnya), dan lebih menonjolkan peran orang kota, bukan orang desa,
kalangan elit, bukan rakyat, dan para orang tua, bukan pemuda. Maka ketika
William Frederick dan Soeri Soeroto (1982) memasukkan bab “Tammatnya Zaman
Penjajahan” dari otobiografi karya Kiai Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang
dari Pesantren (1974) ke dalam karya mereka yang menghimpun literatur mengenai
pemahaman sejarah di Indonesia, terutama dalam bagian mengenai karya-karya
sejarah revolusi sebagai wakil pandangan pesantren, hal itu bisa dikatakan
sebagai pengakuan lanjutan saja dari yang telah diberikan sebelumnya oleh Ben
Anderson. Bahkan bukan tidak mungkin, penyertaan bagian dari karya Saifuddin
Zuhri ini sebagai pengaruh langsung maupun tidak langsung dari karya Ben
tersebut.
Pentingnya peran pemuda dan pertaliannya dengan pesantren
dalam revolusi ini akan lebih tampak ketika menelisik konsepsi apa yang disebut
sebagai ‘pemuda’ itu sendiri di dalam masyarakat Jawa. Pemuda, tulis Ben,
adalah masa ambang, di mana seseorang meninggalkan masa kanak-kanaknya, namun
belum diakui sebagai seorang tua, sosok yang dewasa. Pemuda adalah masa
transisi di mana seseorang harus menempa diri untuk kehadirannya kelak di
masyarakat. Dalam masa itu, seorang pemuda harus pergi bertualang, dari suatu
daerah ke daerah lain, menyerahkan dirinya pada seorang atau lebih guru, yang
mengajarinya banyak keterampilan fisik maupun kekuatan olah rohani.
Dari sekian jenis pendidikan di masyarakat, maka pesantrenlah
–menurut Ben—yang paling baik menggambarkan konsepsi tradisional akan suatu
lembaga yang pas dan tepat untuk mempersiapkan kehadiran dan kemunculan pemuda
kelak di masyarakat. Dengan empat nilai: kesederhanaan, semangat kerjasama,
solidaritas dan ketulusan, para pemuda yang ditempa di pesantren akan menjadi
pemimpin dan kelompok masyarakat yang sulit dicari tandingannya. Terutama peran
ini berlangsung pada masa-masa krisis, ketika irama masyarakat normal mengalami
kegoncangan dan ketidakpastian. Pada saat itu, pesantren memunculkan suatu
pemimpin yang berani mengambil resiko untuk mengubah dan menyelamatkan keadaan.
Sudah barang tentu di belakangnya berdiri ribuan pemuda santri, yang seperti
keluar dari sarang pertapaan dan pengasingannya, untuk mendukungnya dan kelak
kembali lagi ketika keadaan sudah dipandang normal dan stabil.
Gambaran Ben tentang peran pemuda dan hubungannya dengan
pesantren ini demikian retoris, memukau, dan inspiratif, meski mungkin terasa
agak mendramatisir dan meromantisir. Terutama jika hal itu dilihat di dalam
konteks politik dan sosial masa kini. Namun, saya kira, jika melihat kembali
proses kemunculan sosok Abdurrahman Wahid sepanjang akhir 1980an sebagai
pengritik utama Orde Baru dan berpuncak pada penunjukannya sebagai presiden
pada 1999, tampak seperti adanya pengulangan belaka dari apa yang dibayangkan
Ben sebagai sosok pemuda dan peran pesantren di masa krisis. Jika dulu
revolusi, kini namanya reformasi. Sudah barang tentu pola dan ritmenya berbeda
dan berlainan, namun nada dasarnya sama.
Kini jelas betapa dekat hubungan pesantren dan NU dengan Ben
Anderson. Sedemikian jelasnya hingga tak jelas lagi bagaimana hubungan ini
hendak diurai. Ben Anderson memerlukan lembaga tradisional pesantren untuk
memperkukuh konsepsinya tentang adanya pemberontakan dari bawah yang digerakkan
para pemuda dala revolusi, yang menurutnya, bahkan tak ada bandingannya dengan
revolusi di negara lain, sementara pesantren memperoleh legitimasi ilmiah dari
Ben akan peranannya di masa revolusi yang amat besar gunanya dalam Indonesia
modern. Keduanya pada akhirnya saling menerima dan saling memberi.
Ben Anderson memiliki kecederungan memberikan penafsiran yang
kerap berbeda dari penafsiran yang mapan dan konvensionalsehingga menimbulkan
kontroversi. Hal ini dilakukannya ketika misalnya melawan tafsir revolusi yang
sebelumnya dibangun oleh Kahin dan lain-lain, suatu yang disebut oleh Vedy R.
Hadiz sebagai ‘pemberontakan intelektual’. Semangat pemberontakan seperti ini
pula yang kerap diusungnya ketika mengkaji aspek-aspek budaya-politik lain,
baik di Indonesia maupun di Thailand yang mengukuhkannya sebagai ahli Indonesia
dan Thailand, yang khas dan unik. Dalam hal ini, bisa dimengerti jika ia
baru-baru ini mengkritik perkembangan kajian Indonesia belakangan ini yang
lebih banyak memperhatikan Islam, suatu kecenderungan yang justru ia dorong
beberapa dekade lalu, setidaknya dalam kaitan dengan pesantren dan NU.
Ben Anderson, akademisi yang kemudian keluar dari
tempurungnya sebagai ‘spesialis wilayah’ dan memperoleh reputasi internasional,
terutama melalui karyanya mengenai nasionalisme sebagai ‘imagined communities’,
pada Minggu, 13 Desember 2015 kemarin wafat di Batu, Malang. Sekali lagi, Ben
tak pernah mengkaji secara khusus pesantren dan NU. Namun jejak dan namanya tak
bisa disisihkan dalam banyak perbincangan mengenai peran pesantren dan NU dalam
masa revolusi. Karena itulah, cukup beralasan jika kalangan pesantren dan NU
menghaturkan terima kasih dan rasa duka atas kepergiannya tersebut.
*Tulisan ini dicopy dari situs kalatida.com
Post a Comment for "BEN ANDERSON, PESANTREN, DAN NU"