NASIB LUKISAN SEHARGA DUA MILYAR KARYA GUS MUS
Pameran lukisan yang digelar di daerah Bantul itu lesu.
Pengunjung sepi. Tinggal beberapa jam lagi pemeran yang digelar oleh anak-anak
muda LKIS ini harus segera diakhiri. Hanya ada satu dua pengunjung datang,
namun tak satupun lukisan terjual.
Muhammad Jadul Maula yang sehari-hari dipanggil Jadul, sang
panitia penyelenggara yang sudah beberapa hari menjadi tuan rumah, seperti
orang kalah perang. Asanya sudah habis. Ia sudah bersiap untuk kukut (Bahasa
Jawa: mengemasi barang) ketika sepasang suami istri sekonyong-konyong datang
melihat-lihat lukisan.
Gus Mus turut memanggul jenazah gurunya yaitu KH. Ahmad Warsun Munawwir
Sama seperti pengunjung lainnya. Pengunjung ini tak tertarik
pada lukisan-lukisan yang telah dipajang, hingga akhirnya berhenti pada sebuah
lukisan. Sebuah goresan abstrak berupa sketsa dengan pigura kecil seukuran
buku.
"Ini karya Gus Mus?"
Jadul mengiyakan dan menjawab seperlunya. Dalam goresan
sketsa itu memang tertera tanda tangan Kyai Mustofa Bisri yang dikenal dengan
sebutan Gus Mus.
"Kami sangat tak'zim sama Gus Mus. Kami akan beli
lukisan ini".
Rupanya calon pembeli ini seorang pengusaha. Namun, Jadul
tidak begitu bersemangat melayani. Ia hanya membatin, paling-paling orang ini
akan menawar dengan harga yang tidak seberapa. Sebab, hanya sebuah lukisan
kecil berisi sketsa yang tidak jelas maknanya.
Beberapa hari lalu, menjelang pameran, Jadul menelpon Gus
Mus. Ia sudah lama kenal dekat kyai yang juga dikenal penyair itu. Ia biasa
memanggil Gus Mus dengan sebutan Abah.
"Abah... masih punya stok lukisan?", tanyanya lewat
telepon.
"Lukisanku wis entek. Ini tinggal ada satu saja. Sketsa,
kalau mau", jawab Gus Mus.
Jadilah lukisan itu ikut meramaikan pameran. Jadul memajang
lukisan karya Kyai Mustofa Bisri yang dikenal sebagai kyai sesepuh NU dari
Rembang, Jawa Tengah, untuk melengkapi koleksi.
"Jadi bagaimana mas? Boleh saya beli lukisan ini?"
"Oh iya.... silahkan".
"Saya beli satu ya. Satu milyar..!"
Sontak Jadul terperanjat. Sungguh tidak percaya, lukisan
goresan sketsa yang hanya seukuran buku itu ditawar satu miliar rupiah.
Tubuhnya gemetar. Kalaupun jika semua luksian yang dipajang
di pameran itupun terjual, mungkin tidak akan sampai sebesar itu.
Jadul segera menghubungi Gus Mus. Ia tidak berani membuat
keputuan sendiri.
"Ono opo Dul. Ojo suwi-suwi aku lagi ngajar kitab kuning
ini", jawab Gus Mus di ujung sana.
"Gus... lukisannya ada yang mau beli".
"Yo..wis jual aja".
Gus Mus hanya menjawab singkat. Telepon terputus.
Padahal, Jadul belum selesai mengemukakan niatnya
menyampaikan kabar bahwa lukisannya ditawar orang seharga satu miliar rupiah.
"Jadi apa kata Gus Mus?"
Pengusaha ini sepertinya tidak sabar dan ingin mendapat
ketegasan. Namun, Jadul hanya diam tidak bisa menjawab karena sang pemilik
lukisan sudah menutup telepon.
"Ya sudah... Dua ya? Dua milyar".
Di tengah kebengongannya, Jadul hanya bisa mengiyakan tawaran
pembeli itu. Saat ditawar satu miliar saja sudah gugup. Ini malah tambah lagi
menjadi dua miliar. Duh Gusti...!
Selanjutnya pembeli menanyakan pembayaran lewat cek atau
cash. Jadul, minta cash saja dan uang diambil di rumah pembeli itu yang sudah
dimasukkan dalam satu koper perjalanan.
Karena jumlah uang yang tidak sedikit, akhirnya uang dalam
koper itu diantar ke kediaman Gus Mus di Rembang oleh Jadul bersama empat
kawannya. Hal ini untuk keamanan kalau-kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan
di perjalanan.
Sampailah mereka di kediaman Gus Mus.
"Kamu kok bawa koper segala ke sini buat apa Dul?"
"Ini uang lukisannya Abah".
"Wong duit saja kok dimasukkan koper?"
Jadul pun segera membuka koper itu.
"Walah... duitnya kok banyak sekali buat apa Dul?"
"Ya..ini Gus. Uang penjualan lukisan itu. Dua
Milyar".
"Uang sebanyak ini buat apa. Bikin aku pusing
saja".
"Terus gimaan Gus?"
"Gini aja... Aku ambil sepuluh juta. Buat biaya nambal
ruang pondok yang bocor. Kalian berlima masing-masing lima juta," ujar Gus
Mus.
Jadul dan empat kawannya ini hanya diam sambil memandang satu
sama lainnya. Mereka tidak percaya, kalau Gus Mus hanya akan memberi mereka
lima juta.
Mereka sudah terlanjut berharap bahwa, Gus Mus akan mengambil
setengah dari uang itu dan setengahnya pasti akan diberikan mereka. Atau, kalau
pun tidak sebesar itu, mereka masih akan dapat jatah yang cukup besar.
Jadi uang sebanyak dua miliar itu, praktis hanya diambil Rp
35 juta saja.
"Terus sisanya buat apa Gus?"
"Sisanya, gunakan untuk kepentingan umat". Jawab
Gus Mus.
Dengan perasaan berat dan kecewa, mereka kembali ke Jogja
dengan membwa uang sisa sebesar Rp 1,9 miliar yang bukan jatah mereka. Dalam
perjalanan, mereka sempat tergoda oleh pikiran kotor. Bagaimana kalau uang yang
mereka bawa itu dibagi saja berlima. Merekapun berdebat dan bersitegang.
"Sudah..sudah...sudah", sergah Jadul.
"Apa kalian tidak takut kualat? Kalau kita ambil uang
ini, kita pasti akan susah di kemudian hari. Sebab makan uang yang bukan hak
kita". Demikian Jadul.
Merekapun sadar. Akhirnya mereka sepakat dan memutuskan. Uang
sisa penjualan lukisan sketsa karya Gus Mus dibelikan tanah tidak jauh dari
terminal di kawasan ring road Jogja, yang diwakafkan untuk lokasi pembangunan
sebuah lembaga pendidikan.
Saya tak bisa membayangkan, bila itu menimpa saya. Saya pasti
akan mengambil dalam jumlah yang saya inginkan, untuk kepentingan saya sendiri
mengingat itu adalah uang halal hasil penjualan karya saya.
Kok masih ada ya manusia seperti ini? Justru di tengah
santernya saat ini kita lihat orang-orang yang seharusnya jadi panutan,
ternyata banyak yang masih berebut materi bahkan dengan cara tidak wajar.
Cerita ini saya dengar dari sahabat saya Thowaf Zuharon, yang
ikut menggarap buku Ayat-Ayat yang Disembelih. Peristiwa ini terjadi sekitar
lima tahun lalu. Thowaf mendengar kisah ini dari Joni Ariadinata, seorang
penulis yang juga sahabat Jadul.
Post a Comment for "NASIB LUKISAN SEHARGA DUA MILYAR KARYA GUS MUS"