Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Benarkah Orang Jawa Itu Kurang Disiplin?

Jamak diketahui dalam pandangan masyarakat awam bahwa orang jawa itu kesannya klemar-klemer, ragu-ragu, ewuh pakewuh, lamban, tidak tegas dan kata-kata yang berkonotasi semacamnya. Anggapan seperti ini muncul bisa jadi disebabkan karena kita, atau saya memang melihatnya demikian. Lihatlah Solo yang masih begitu kental –selain Jogja– dengan adat istiadat dan budaya jawa telah menjelma menjadi perlambang ‘kelemah-lembutan’ tersebut. Bahkan ada sebuah guyonan yang menyebut perempuan asal Solo dengan sebutan Putri Slow yang merupakan plesetan dari Putri Solo.

Pro. Djokosantoso Moeljono, guru besar UGM dan mantan Dirut BRI dalam suatu wawancara sungguh menolak pandangan kebanyakan orang terhadap kepribadian orang jawa yang seperti ini.

“Itu Jawa yang terjajah. Jawa yang sesungguhnya itu Mataram.” Katanya merujuk nama sebuah kerajaan besar yang pernah bercokol di Pulau Jawa dengan Jogja sebagai pusatnya.

Salah satu raja terbesar yang pernah memerintah kerajaan Mataram adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo, beliau mempunyai salah satu value yang berbunyi, lamun sliro assoring jurit ing ngaloko ojo wani mulih-mulih ning Jowo luwih becik sliro mati. Jadi kalau kamu kalah bertempur, jangan pulang, lebih baik mati. Itu persis sama dengan nilai-nilai yang tumbuh di Jepang. Bedanya kalau Jepang itu seppuku atau harakiri, kalau kita (jawa) dipenggal di leher. You have to achieve your target, your task.



Ada sebuah kisah menarik yang terjadi ketika bangsa ini masih dijajah Belanda. Pada tahun 1627, Sultan Agung Hanyokrokusumo memimpin Mataran menyerbu Batavia. Pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Mandurarejo didampingi Adipati Ukur dan Banaspati. Dalam pertempuran selama 4 bulan itu, ternyata mereka kalah. Mandurarejo sebagai manggoloyudho, pulang menghadap Sultan. Ia melapor, “Kanjeng Sultan, maaf, saya kalah. Saya mohon ampun, mohon keringanan hukuman: jangan keluarga saya ditumpas.” Ia (Mandurarejo) kemudian pulang, berendam, mandi di rumah, melaksanakan salat zuhur, pakai baju ihram kemudian berangkat menuju alun-alun dan lehernya dipenggal. “Ini real.” Kata si profesor.

Real javanesse juga punya nilai-nilai disiplin tinggi. Jer basuki mowo bea, supaya kamu maju harus berlatih dengan disiplin tinggi. Prof. Djokosantoso lantas menceritakan pengalaman masa kecilnya di Mangkunegaran, Kasunan. Sebelum akil baliq kami (Prof. Djokosantoso dan teman-temannya) dikumpulkan, setelah akil baliq dipisahkan keputran dan keputren. Kami dilatih: ilmu kesusasteraan dan agama, ilmu kenegaraan, dan ilmu kanuragan (silat, naik kuda). Untuk berhasil, baik laki maupun perempuan harus mempunyai disiplin tinggi. Mereka juga dididik dengan nilai-nilai kehormatan jawa.

Sedangkan operational values-nya adalah hangroso handarbeni, wajib melu ngopeni, dan ngulat saliro hangroso wani. Hangroso handarbeni itu adalah sense of belonging, tapi hanya sense (rasa), bukan menguasai atau mengambil paksa. Wajib melu hangopeni, sense of maintaining, memelihara baik-baik segala sesuatu dengan kesungguhan. Mulat sariro hangroso wani, introspeksi diri berani dan berkata apa yang benar. Sebaiknya manusia itu bersama-sama menyuarakan kebenaran. Namun saat ini kita bersama-sama membenarkan sesuatu.

“Darah itu merah Jenderal, Jawa itu disiplin Kapten,” said someone.


Disarikan dari buku Cracking Values karya Rhenald Kasali, Ph.D yang bersumber dari fan page  Profesional Muslim

Post a Comment for "Benarkah Orang Jawa Itu Kurang Disiplin?"